Catatan Diskusi · Doenia Bergerak

[Bab III] Peranan Marco Kartodikromo Dalam Pergerakan: [Sub-Bab A] Berperan Dalam SI Solo dan Mendirikan IJB

Dunia_Bergerak___Keterlibatan_Mas_Marco_Kartodikromo_di_zama
Sumber: https://www.demabuku.com/

Marco Kartodikromo sempat magang di Medan Prijaji, namun semenjak Medan Prijaji bangkrut dan Tirto Adhie Soerjo sakit, Marco kemudian ke Surakarta atas undangan Marthodharsono, mantan redaktur Medan Prijaji. Di Surakarta Marco mendapat tugas mengelola Sarotomo, surat kabar milik Sarekat Islam (SI) Surakarta pada 1912. Pada 25 Maret 1913, Tjokroaminoto yang menjadi pemain baru di SI pada Kongres SI pertama di Surakarta terpilih sebagai Wakil Ketua, sementara Samanhoedi tetap menjadi ketua SI. Tjokroaminoto berhasil menyingkirkan H. Samanhoedi pada tahun 1914 dari kursi Presiden SI dengan menang telak dalam pemilihan yang membuat Centraal Sarekat Islam (CSI) berpindah ke Surabaya. Pada awal perselisihan SI Solo dan Surabaya, Marco tetap menjalankan tugasnya sebagai redaktur di Sarotomo bersama Sosro Koornio.

Berperan dalam SI Solo dan Mendirikan IJB

Pada 31 Januari 1914, Marco memutuskan untuk mendirikan Inlandscbe Journalisten Bond (IJB) dan menerbitkan Doenia Bergerak (D.B.). Di situ Marco menjabat sebagai redaktur, urusan administrasi dipegang oleh H.M. Bakrie, percetakan diserahkan ke N.V. voorh H Bunning, Jogjakarta. Pada edisi perdana, 28 Maret 1914, Marco menulis bahwa terbitnya Doenia Bergerak tergantung dari bumiputera. Doenia Bergerak menjadi tempat bagi para jurnalis yang menentang kekuasaan kolonial dan birokrat Belanda. Marco juga menerbitkan ulang surat DR. Rinkes kepada Samanhoedi dengan judul “Marco pro of Contra DR Rinkes!?”. Selain itu, ia juga menerbitkan tulisan yang berjudul “Als ik eens Regent Was” (Kalau saya seorang Regent). Tulisan terakhir ini mengingatkan pada tulisan Soewardi, “Kalau saya seorang Belanda”.

Sampai pada pertengahan April 1914, Doenia Bergerak terus memuat tulisan-tulisan yang berani menentang pemerintah kolonial maupun mengkritik tabiat para birokrat Hindia Belanda. IJB dan para penulis di Doenia Bergerak tampil sebagai sosok yang siap berseberangan dengan Belanda dan juga sebagai pembela kebenaran, meski demikian ada yang menentang Marco. Tentangan tersebut datang dari Oetoesan Hindia (O.H.), surat kabar yang dipimpin Tjokro. Seorang dengan nama samaran “De Wil” mengkritik Marco yang isinya meminta Marco mencabut tulisannya di lembar percontohan Doenia Bergerak. Marco tidak terima dan ia muat lagi tulisan “De Wil” dalam Doenia Bergerak. O.H. menolak pendapat Marco bahwa perseteruan ini antara Marco dan Tjokro. Sebaliknya, O.H. malah menuduh Marco telah mengacaukan O.H. dan Tjokro. Ini adalah awal perseteruan antara D.B. dan O.H. dimana keduanya saling menyerang dan mengkritik lewat tulisan. Polemik O.H. dan D.B. berlanjut hingga terbitan ke-11 Doenia Bergerak pada Juni 1914. Marco tanpa basa-basi lagi mengatakan bahwa perseteruannya dengan Oetoesan Hindia adalah perkara perselisihan antara SI Solo dan SI Surabaya.

Di saat perseteruannya dengan O.H. masih berlangsung, Marco justru menerbitkan buku yang berjudul Mata Gelap. Pada saat Marco menerbitkan romannya, perseteruannya dengan O.H. belum selesai. Pada 16 Juni 1914, Marco mengirim surat kepada Assistant-Resident Solo yang isinya adalah pemberitahuan bahwa pada Minggu 21 Juni 1914 dia akan kedatangan tamu utusan dari redaksi Oetoesan Hindia untuk membahas perdamaian antara O.H. dan D.B. Tempat pertemuan, rencananya, berada di rumah M. Kebopenatas, di Kusumoyudan, Solo. Tapi pertemuan itu batal sebab Assistant-Resident Solo tidak mengijinkan. O.H. merasa rugi dengan pembatalan pertemuan tersebut, sebab mereka sudah terlanjur mengirim telegram kepada orang yang ditunjuk O.H. sebagai saksi dan jaksa. Untuk itu O.H. mengundang D.B. datang ke Surabaya. Waktu pertemuan dan lain hal diserahkan pada D.B. Inti dari pertemuan tersebut adalah untuk “beremboeg sampai beres, tentang perselisihan dalam halnja toean De Wil dan toean Wagio, meremboeg rapotja M.W.C” (Hartanto, 2017: 94). O.H. berjanji akan menjamin keselamatan Marco dan berharap surat tersebut dibalasnya. Marco menjawab surat itu di Doenia Bergerak dengan gayanya menggunakan catatan kaki dan ia tidak keberatan untuk datang ke Surabaya. Tapi ia tetap berpegangan pada anjuran Assistant-Resident Solo bahwa pertemuan tersebut sebaiknya menunggu sampai Dr. Rinkes datang.

Pada 1914 Soewardi menjalani hukuman buangnya di negeri Belanda. Di Belanda dia mendengar kabar bahwa ada perang kecil di Hindia Belanda antara D.B. dengan O.H. Berkait dengan polemik itu, Soewardi tidak memihak siapa pun, yang terutama baginya, menjaga kepentingan umum yang menuju kemajuan Hindia Belanda, sebab itu ia berharap O.H. dan D.B  berdamai. Marco mendengarkan nasehat Soewardi untuk berdamai dengan O.H., tapi berdamai dengan O.H. bukan berarti masalah selesai.

Pada September 1914, buku Marco Mata Gelap ternyata juga menuai masalah. Tjoen Tjhioe (T.T.) mengkritik tentang roman itu. Menurut T.T., roman itu rendah derajatnya. T.T. sebenarnya malas mengulas isi roman itu, tapi karena Marco dipandang merendahkan derajat orang Tionghoa, maka T.T. angkat bicara. Tujuannya agar Marco tidak mengulangi perbuatannya yang menyakitkan perasaan bangsa Tionghoa. T.T. juga menjelaskan bahwa buku ini tidak berharga. Marco menjawab polemik tersebut dan berharap perkara ini tidak diperpanjang, dalam kondisi dunia saat ini tidak pantas terjadi perselisihan lantara Mata Gelap. Polemik memanas sampai November 1914. Sebagai bukti bahwa Mata Gelap bukan roman murahan, Marco mengutip pelbagai surat kabar yang mengulas bukunya. Meski Marco menunjukan bahwa karyanya tidak bisa dipandang sebelah mata, tetapi perselisihan dengan T.T. makin menghebat dan sampai akhir Oktober 1914 polemik masih berlanjut. Perdebatan tersebut mengundang banyak orang untuk terlibat di dalamnya. Para jurnalis IJB membantu Marco dalam perkara ini. Pada akhir tahun 1914, “api” itu mulai padam. Marco dan Tjboen Tjhioe tidak lagi berpolemik.

Tapi, masalah kembali dihadapi Marco. Pertengahan Desember 1914, H.M Bakrie mengundurkan diri dari jabatan Administrateur Doenia Bergerak. Di saat yang sama H.M Bakrie juga meletakan jabatannya dari Directeur Sarotomo. Di Solo, Januari 1915, orang silih berganti datang dan pergi. Sebuah keadaan yang biasa dalam dunia pergerakan. Pada Senin 26 Januari 1915, Officier van Justitie Semarang memeriksa Marco di kantor Asistent-Resident Solo. Empat buah tulisan yang termuat di Doenia Bergerak kena persdelict. Sebagai pemimpin redaksi Doenia Bergerak, Marco bertanggung jawab terhadap semua tulisan di surat kabar itu. Marco justru hendak menerbitkan persdelict itu dalam buku yang diberi judul “Extra Doenia Bergerak”. Selama menghadapi perkaranya, Marco tetap mengelola Doenia Bergerak. Ia bertanggung jawab terhadap semua tulisan di dalamnya termasuk tidak mau menunjukan identitas dari para penulisnya di Doenia Bergerak kepada pemerintah. Akhirnya Lanraad memvonis Marco hukuman penjara selama 7 bulan. Pada akhirnya penahanan dan pemenjaraan Marco mendorong lahirnya sebuah Komite. Usaha yang dilakukan Komite cukup berhasil dan membuat putusan hukuman 7 bulan ternyata hanya dijalani Marco selama 3 bulan 6 hari dari 23 November hingga 26 Februari 1916. Setelah bebas dari penjara pada Maret 1916, Marco pergi ke Belanda. Selama di Belanda ia mengirimkan tulisan-tulisannya ke Pantjaran Warta, surat kabar yang dikemudikan Goenawan, mantan redaktur Medan Prijaji. Salah satu tulisannya di Pantjaran Warta adalah, ”Awas Anak Hindia Soedah Berapi!”. Marco kembali ke Hindia sekitar pergantian tahun 1916-1917 karena jatuh sakit akibat cuaca musim dingin. Pulang dari Eropa, ia tetap tak mengurangi aktivitasnya; dalam serangkaian artikel yang ditulisnya dalam majalah Pantjaran Warta ia meneruskan perjuangannya mencapai persamaan hak. Namun akibat keputusan perundang-undangan kolonial di negeri induk, Marco ditangkap lagi dan sesudah mengajukan banding, ia dijatuhi hukuman satu tahun sel. Komite yang dulu dibentuk kini dihidupkan lagi, namun kini tidak mencapai hasil apa-apa. Marco dijerat karena tuduhan menebarkan benih kebencian dan penghasutan. Pembelaan Marco ditolak dan pengadilan bersikukuh bahwa Marco dengan tulisannya bermaksud menghasut bumiputera untuk memberontak. Pada 27 Oktober 1917, Goenawan mengunjungi Marco untuk mengabarkan keadaan Pantjaran Warta yang terancam gulung tikar. Goenawan mengutarakan bahwa Marco menyesal ketika Pantjaran Warta yang berhaluan berani karena benar akan gulung tikar. Marco juga menyayangkan dirinya yang tidak bisa berbuat banyak untuk Pantjaran Warta, sebab ia harus berada di penjara sampai hukumannya habis pada Februari 1918.

Martodharsono, teman Marco, pemimpin Djawi Hiswara pada 11 Januari 1918 memuat artikel kontroversial yang berjudul “Pertjakapan Marto dan Djojo”. Sehari setelah penulisan itu, samasekali tidak ada gelombang protes di Solo juga di lain-lain daerah untuk artikel semacam itu. Di Surabaya, Abikoesno Tjokrosoejoso, adik Tjokroaminoto dalam Oetoesan Hindia menyerukan untuk menghukum Martodharsono atas dimuatnya artikel usilnya yang dianggap telah menghina Nabi Muhammad dan melecehkan ajaran agama Islam. Meskipun Gubernur Jendral pesimis menanggapi perkara tersebut, polemik terus berlanjut. Aksi Abikoesno yang memunculkan masalah itu ke publik langsung mendapat reaksi dari Martodharsono yang bertanggung jawab sepenuhnya atas tulisan itu. SI Surabaya, pimpinan Tjokroaminoto, punya rencana dan tanggapan berbeda. Pada 6 Februari 1918 SI Surabaya mengadakan pertemuan besar di Surabaya dan berhasil mendirikan Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM). Tujuan TKNM adalah mempertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan Kaoem Moeslimin. Di tempat terpisah, pada 9 Februari 1918 pengurus SI Solo mengadakan pertemuan tertutup untuk membahas perkembangan pro-kontra atas dimuatnya sebuah artikel kontroversial dalam surat kabar Djawi Hisworo pimpinan Martodharsono. Gagasan pembentukan TKNM, bagi Tjokroaminoto, ibarat sekali dayung, dua, tiga pulau terlampaui. Hal ini menjadikan keuntungan bagi Tjokroaminoto.

Akhirnya, usaha Tjokroaminoto dengan propagandanya berhasil mencapai tujuannya. Pada 23 Februari 1918, Gubernur Jendral Johan Paul Graaf van Limberg Stirum, atas nama Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, mengangkat Tjokroaminoto sebagai dari CSI (Centraal Sarekat Islam) untuk duduk dalam keanggotaan Volksraad (Dewan Rakyat). Pada 26 Februari 1918, Koran Misbach, Medan Moeslimin mengungkap perselisihan antara TKNM dan Comite JN (Javaansch Nationalisme). Perselisihan antara kedua kubu bermula ketika Comite Javaansch Nationalisme mengkritik pendirian TKNM yang dinilai bisa memecah-belah bangsa. Semaoen, tokoh Serekat Islam (SI) cabang Semarang, memberikan penilaian berbeda terhadap kasus tersebut. Ia lebih memilih menyoroti pembentukan dan pemilihan anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Semaoen menyebut Volksraad tidak lebih daripada sekedar “omong kosong, komedi, juga kipas pendingin”.

Dengan masuknya Tjokroaminoto ke Dewan Rakyat berarti langkahnya legal. Sebagaimana keputusan SI, organisasi ini melarang tiap anggotanya duduk dalam Dewan Rakyat. Pada 20 Maret 1918, Oetoesan Hindia mengumumkan hasil pemufakatan internal SI mengenai pengangkatan Tjokroaminoto, Pimpinan Besar CSI, sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Pada 21 Maret 1918 melalui Oetoesan Hindia ia melampirkan surat kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda Johan Paul Graaf van Limburg Stirum. Surat itu berisi tentang kekuatan SI dan TKNM. Maksud dari surat itu adalah ia ingin menyampaikan betapa besar kekuatan umat muslim di Hindia Belanda di bawah pimpinanya. Tjokroaminoto menggertak kolonial untuk tidak berbuat macam-macam dengannya dan umat muslim di Hindia Belanda, sebab bisa saja mereka melakukan perlawanan yang lebih besar.

Marco tidak bereaksi apapun menanggapi masalah Martodharsono, temannya di SI Solo dan Medan Prijaji. Marco masih di penjara ketika itu. Ia tidak turut ambil bagian dalam perkara Martodharsono, pembentukan TKNM, dan masalah Tjokroaminto duduk dalam penjara. Selama di penjara, ia diam hingga tulisannya yang keras mengkritik tidak turut meramaikan dunia pergerakan sampai akhir Maret 1918.

 

Penulis: Harda Wijaya (Redaktur Berita Jaganyala)

Tinggalkan komentar