BERITA

Upaya Warga Melawan PT. Margola

YHNY3748
lokasi pertambangan batu marmer merah PT. Margola (sumber: Wahidul Halim)

 

“Kami jadikan eksploitasi tambang sebagai objek wisata,” tutur Soim selaku ketua Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Ngargoretno, Salaman, Magelang.

Belum lama ini Jaganyala berkunjung ke Desa Ngargoretno, Salaman, Magelang. Sebuah desa yang terletak di atas Bukit Lereng Menoreh. Desa ini tidak jauh dari kawasan wisata Candi Borobudur. Secara geografis, Ngargoretno berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

Luas wilayah Ngargoretno sebesar 618 hektare, dan dihuni oleh 3.235 jiwa yang terdiri dari 928 Kartu Keluarga (KK) (terhitung sejak 2016). Ada enam dusun yang dimiliki Ngargoretno, Dusun Selorejo, Wonokerto, Wonosuko, Tegalombo, Karangsari, dan Sumbersari.

Karena tempat Ngargoretno yang berada di atas Bukit Lereng Menoreh. Tidak heran jika memiliki pemandangan sangat indah. Desa ini berhadapan langsung dengan beberapa gunung di antaranya, Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing dan bukit sekitarnya. Sangat syahdu untuk ngopi dan diskusi.

Wilayah perbukitan menjadikan mata pencaharian warga sekitar dengan perkebunan, pertanian dan peternakan. Kebanyakan di sana terdapat perkebunan kopi dan cengkeh. Sektor pertanian, warga biasa menanam padi. Hampir disetiap rumah warga, Jaganyala menemukan kandang hewan milik warga yakni sapi dan kambing etawa.

Di balik bukit yang tinggi, terdapat napak tilas sejarah berupa Gowa Lowo atau Gowa Pahlawan. Menurut penuturan Iskandar salah seorang tokoh agama. Gowa dahulu menjadi tempat persembunyian sekaligus meditasi oleh Pangeran Diponegoro.

“Pangeran Diponegoro sebelum ditangkep dan dibuang oleh Belanda berada di sini” ucapnya dengan Bahasa Jawa (16/4).

Selain itu, Desa Ngargoretno memiliki kekayaan alam yang berada di Dusun Selorejo. Perbukitan yang menjulang tinggi di dusun tersebut mengandung batu marmer merah, mangan, dan fosfat. Jika digali dengan mesin berat tidak akan habis selama 150 tahun.

Jaganyala mewawancarai satu tokoh desa yang bernama Subari. Pria yang kini berusia 80 tahun, menjadi saksi kedatangan insinyur Muhamad pada tahun 1980. Muhamad meneliti kandungan bukit di Desa Ngargoretno. Menurutnya, bukit tersebut juga mengandung emas dan intan.

“Sesuai dengan pengambilan nama desa, yakni argo artinya batu dan retno artinya intan”. Tutur Subari di dalam ruang tamu rumahnya yang bersebelahan dengan bukit tinggi pada (16/4).

Namun dengan adanya kekayaan alam, menjadikan Desa Ngargoretno mengalami bencana. Mulai dari longsor, kekeringan, musnahnya lokasi bersejarah, sampai dengan hilangnya desa tersebut. Hal itu karena eksploitasi tambang batu marmer merah di Dusun Selorejo oleh investor.

Awal Kehancuran

Pasca penelitian pada 1980 oleh Muhamad dari Institut Teknoologi Bandung (ITB). Tahun 1982-1986, Bari yang dahulu menjabat sebagai Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) menjadi penghubung pembebasan lahan antara warga Selorejo dengan adik Soeharto yakni Prabosutejo selaku pemilik PT. Girikemusuk. Lahan nantinya dijadikan area pertambangan. Sehingga, pemukiman Rukun Tetangga (RT) 21 yang dihuni 43 KK harus angkat kaki dari rumahnya.

Menurut Soim selaku ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), ada warga yang menolak tanahnya dijual. Sebab, ladang yang menjadi mata pencaharian warga berada di sekitar rumahnya. Namun, kuatnya rezim Orde Baru, warga yang tidak setuju tanahnya dijual mengalami intimidasi oleh aparat.

Jaganyala mendatangi kediaman rumah berinisial S yang merupakan korban pembebasan lahan. Sekitar 2 hektare lahan miliknya direbut oleh perusahaan. Korban bersama dengan tetangganya tidak mendapatkan ganti rugi sepeser pun.

“Kami seperti burung yang diusir begitu saja,” kata S dengan ekspresi sedih.

Paksaan dilakuan aparat dengan cara mengancam akan menculik bahkan tidak segan-segan menuduh warga sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehingga warga merasa takut dan akhirnya menjual tanah ladangnya.

“Warga merasa takut sama orang berseragam hijau,” lanjut S.

Rumah S bersebelahan dengan tanah yang menjulang dan terdapat sungai di bawahnya. Karena ganti rugi yang tidak kunjung diberikan, keluarganya terpaksa membeli lahan di area rawan longsor. Setiap hujan turun, S kerap kali diambang kekhawatiran. “Saya tidak tenang saat hujan turun,” ungkapnya.

Ganti rugi yang tidak diberikan juga berimbas pada ladang milik warga, termasuk S. Tanaman yang dulu menjadi lahan penghasilan, di antaranya cengkeh, jati, padi, aren, dan lainnya kini telah tiada. Investor menjanjikan akan membayar dengan sistem borongan. Namun, hingga warga berpindah, ganti rugi hanya sebuah harapan.

Setelah pembebasan lahan tanpa disertai relokasi, PT milik keluarga Cendana tersebut belum sempat beroperasi. Tetapi, ada investor yang menggantikannya yakni PT. Margo. Pemilik PT adalah Theng Un Laij atau biasa dikenal Biak. PT ini berasal dari Lampung, mendapatkan izin operasi pada 30 November oleh gubernur / daerah tingkat 1 dengan Nomor Keputusan 593.8/894/89/II/NF Tentang Pemberian Izin Lokasi dan Pembebasan Tanah Seluas dengan Luas 20 Hektare. (Pabrik 2 hektare dan penambangan 18 hektare).

Pada tahun 2000 PT.Margo mengganti nama dengan PT.Margola untuk mendapatkan izin yang baru. Dokumen yang Jaganyala temui Direktur dari PT. Margola adalah Anna Maria Thenggono. Izin diberikan oleh daerah tingkat 1 dengan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 503/13/C/2000 Tentang Pemberian Perpanjangan Izin Pertambangan Daerah/SIPD Eksploitasi Bahan Galian Marmer Kepada PT. Margola

Surat Keputusan dikeluarkan pada tanggal 12 April Tahun 2000. Maka, pada tahun 2010 izin pertambangan PT. Margola sudah habis. Sehingga tidak diperbolehkan lagi melakukan aktifitas pertambangan. Namun, hingga saat ini proses penambangan terus dilakukan.

Eksploitasi tambang menimbulkan kerusakan lingkungan di Desa Ngargoretno. Proses eksploitasi dilakukan menggunakan mesin berat. Penghancuran batu dilakukan dengan pengeboran dan mesin gergaji. Serta menggunakan air yang cukup banyak, agar mempermudah proses pemotongan batu.

engga pakai dinamit, eman-eman. Marmer itu debunya aja payu kok” kata Soim, rumahnya yang berdekatan dengan lokasi eksploitasi tambang marmer merah.

Hasil batu marmer merah yang sudah diambil akan dibawa ke Lampung untuk selanjutnya diolah menjadi bahan siap jual. penjualan biasanya dilakukan di luar negeri. sebab batu jenis ini hanya ada 2 di dunia, Ngargoretno dan Italia. sehingga nilai jualnya sangat tinggi.

Dampak Buruk Tambang

Proses penambangan dengan mesin berat acap kali menimbulkan getaran yang sangat kencang. Rumah milik Sigit sering menjadi korban. Bahkan dia mengatakan bahwa setiap jam operasi, kaca rumahnya bergetar kencang.

“ada yang sampai pecah juga” katanya saat Jaganyala mengunjungi di kediaman rumahnya pada (15/4).

Pada tahun 2004, desa Ngargoretno dilanda bencana longsor besar-besaran. Ada rumah warga yang tertimbun dan hilang tanpa bekas. Salah satunya Rumah Pujo Prayitno yang merupakan seorang  tokoh seniman menjadi salah satu korban. Bukan hanya rumah, alat-alat seni seperti, gamelan, gendang, kenong dan lainnya ikut terkubur tanah.

Longsor terjadi akibat getaran yang dihasilkan oleh mesin yang digunakan. Sehinga kondisi tanah sangat mudah terbawa air hujan. Dampak diperparah lagi mengingat lokasi tambang berada di tengah Lereng Menoreh. Artinya, lokasi yang dikelilingi oleh perbukitan hunian rumah warga.

Penambangan yang dilakukan terus menerus akan berdampak bencana longsor yang jauh lebih besar. Bahkan melebihi peristiwa pada tahun 2004. Samsudin selaku kepala Dusun Selorejo, mengatakan bahwa jika tambang terus digali maka rumahnya akan longsor.

“Rumah saya sudah mengklek-mengklek, kalau ditambang terus akan ikut ke bawah, Mas,” ungkap Samsudin selaku Kepala Dusun Selorejo yang rumahnya berada tepat di sekitar lokasi pertambangan.

Dampak selanjutnya, warga kerap mengalami pemadaman listrik. Soim yang rumahnya berdekatan juga menjadi korban. Listrik yang digunakan Soim sekitar 900 watt. Tetapi yang keluar jauh dibawah itu.

“PT. Margola ini pakai daya listrik tinggi, mereka beli trafo sendiri, beberapa kali kejadian, setiap PT. Margola beroperasi yang listrik tinggi, listrik warga akan mati,” tutur Soim kepada Jaganyala di belakang rumahnya yang berhadapan langsung dengan lokasi tambang.

Pada musim kemarau, Desa Ngargoretno sering mengalami kekeringan. Padahal wilayah ini terletak di atas perbukitan. Artinya ada beberpa mata air yang dapat dijadikan penghidupan warga. Kekeringan yang lebih parah dialami oleh warga yang berada sekitar PT. Margola. Mata air yang biasa digunakan warga letaknya berada di kawasan PT. Margola. Sehingga, setiap kekeringan warga dilarang mengambil air.

“Kalau mata air yang berada dikawasan PT itu tidak boleh. Saya kan tidak berani masuk situ, yang jaganya satpam,”kata Samsudin sambil menunjuk lokasi mata air.

Iskandar, seorang aktivis lingkungan Ngargoretno mengatakan bahwa, sebelum adanya kegiatan pertambangan – saat musim kemarau tidak terjadi kekeringan. Air yang ada di desa masih melimpah. Ketika ada PT. Margola, air digunakan untuk penambangan. Dalam proses pemotongan marmer, memerlukan air yang cukup banyak.

“Air masih berada di permukaan belum meresap, tetapi sudah habis diambil,” kata Iskandar sebelum berangkat ke ladangnya.

Perlawanan Warga

Setelah merasakan dampaknya secara langsung. Warga tidak diam begitu saja melihat kerusakan alam. Tokoh yang menginisiasi untuk menolak pertama adalah Suroso akrab disapa Mbah Roso. Pria yang kini berusia sekitar 70 tahunan itu mengumpulkan warga dan memotorinya.

Pada tahun 1998, Perjuangan Mbah Roso dibantu oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Serikat Tani Merdeka (STAM) yang juga merupakan jaringan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Pada saat itu, melalui organisasi itu mewadahi pemikiran masyarakat dalam situasi reformasi untuk juga melakukan perlawanan terhadap PT. Margola.

“mereka yang menyuruh kami berani bersuara” kata Mbah Roso di kediamannya (15/4).

Pada tahun 2004, warga menggugat kepemilikan izin tambang ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Magelang. Pengaduan yang diajukan tidak dikabulkan oleh hakim. Pengaduan kalah karena adanya somasi. Menurut dugaan Soim, sulitnya melakukan perlawanan disebabkan banyaknya oknum yang “bermain dibelakang” dan mendahulukan kepentingan pribadi.

Belum selesai, warga mencoba mendatangi kantor Pemerintah Kabupaten Magelang. Namun tidak ditanggapi secara serius dan melemparkannya kepada Propinsi Jawa Tengah. Pihak propinsi tidak tahu-menahu dan menganggap bahwa itu adalah urusan daerah. Alasannya sudah terbit undang-undang otonomi daerah.

“Dulu saya itu hanya dipingpong,” ujar Samsudin selaku pemerintah desa.

Pada tahun 2005 masyarakat mulai melakukan aksi untuk meminta PT. Margola memberikan ganti rugi yang layak. Ganti rugi berupa tanaman yang belum dibayar saat pembebasan lahan, akibat longsor oleh getaran,  dan pencabutan perzinan.

Namun pada tahun 2008, PT. Margola melaporkan sebanyak tujuh orang atas tuduhan pengambilan batu, selanjutnya ditahan oleh kepolisian. Masyarakat menganggap pengambilan sudah sejak nenek moyangnya dulu dan batu marmer itu bukan milik tambang.

“yang kena tangkap adalah warga paling vokal menolak tambang” ujar soim.

Atas solidaritas yang dimiliki warga sekitar, sebanyak 4 truk dikerahkan menuju kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Salaman. Warga beramai-ramai melakukan tahlilan bersama di halaman kantor Polsek. Tahlilan sebagai bentuk dukungan agar penahanan terhadap 7 orang tersebut segera dibebaskan.

“Abis maghrib kita pulang, ndak ada demonstrasi apa-apa, hanya tahlilan”. Lanjut Soim

Ternyata setelah aksi dilakukan, 7 orang tersebut langsung ditangani oleh pihak Kepolisian Resort (Polres) Magelang. Pendampingan hukum terus diupayakan oleh Soim dan kawan-kawannya. Salah satunya dari Lembaga Advokasi Bantuan Hukum (LABH).

Tidak berselang lama, surat kuasa hukum dicabut oleh kepolisian. Mulai saat itu tersangka bertambah mejadi 21 orang. Sebanyak 14 orang hanya terkena wajib lapor. Sampai sekitar 40 hari.

 “Itu permainan aparat hukumnya”. Kata Soim pada Jaganyala.

Setelah berbagai usaha dilakukan. Soim melawan melalui jalur non-litigasi atau diluar pengadilan. Sehingga Pada tahun 2010 Bapak Soim mendirikan Gapoktan. Ada 13 kelompok tani yang menjadi naungan Gapoktan. Kelompok-kelompok melakukan advokasi kepada masyarakat. Bentuk advokasi yang dilakukan berupa warga tidak menjual lahan kepada investor.

Pada Tahun 2013, Dodik Suseno diangkat menjadi Lurah, inilah yang menjadi awal adanya pembangunan Desa yang turut juga berperan besar dalam proses pengembangan Desa Wisata, karena perangkat desa sebelumnya ikut serta bermain dengan PT.Margola.

Melalui Bumdes yang diketuai oleh Soim, bersama dengan perangkat desa, Dodik menjadikan lahan batu marmer merah sebagai destinasi wisata. Batu yang belum ditambang oleh PT. Margola dijadikan sebagai museum. Jaraknya tidak jauh dengan lahan pertambangan. Wisatawan yang berkunjung akan diajak menuju proses penambangan. Pemandu wisata akan memberitahukan kepada pengunjung bahwa penambangan marmer adalah kerusakan lingkungan.

“orang itu yang merusak lingkungan kita” papar Soim.

lama kelamaan para pekerja tambang merasa risih, dan satu persatu keluar. Para pekeja sadar bahwa yang dilakukannya adalah perusakan alam. Selain itu pekerja menjadikan penambangan sebagai kegiatan sampingan saja. Mata pencaharian dari mereka adalah bertani dan berternak kambing dan sapi.

“Ini salah satu perlawanan secara halus,” kata Soim.

Selain itu, ada upaya melakukan gerakan ekonomi kreatif sebagai paket wisata kunjungan ke museum. Objek yang dijadikan adalah penghasilan warga sehari-hari. Semisal, kopi, madu, gula aren, susu kambing, kripik pare, dan lain sebagainya. Metode yang digunakan yakni edukasi. Pemandu akan menjelaskan tentang proses atau cara pengelolaan dari setiap destinasi. Seperti cara pembuatan kopi dari awal, sampai pemasaran. Wisatawan yang datang akan mendapatkan ilmu yang diajarkan. Harapannya wisatawan memiliki semangat untuk berwirausaha.

“Pengunjung akan mendapatkan ilmu setelah pulang dari sini,” lanjut Soim.

Bagi pengunjung dari luar daerah, Soim beserta masyarakat sekitar menjadikan rumahnya untuk penginapan. Konsep yang digunakan yakni hidup bareng bersama warga. Hal ini juga menjadi penghalang investor membeli lahan warga untuk mendirikan hotel dan vila.

“Wisatawan akan membayar biaya lebih murah, karena yang menjadi pendampingnya itu tuan rumah sendiri. Tempat tidak memerlukan perawatan mahal seperti hotel.”

Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Soim dan warga lainnya, bagaimana mengedukasi masyarakat untuk menciptakan kreatifitas ekonomi sendiri. “Kita memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk membangkitkan itu semua,” pungkas Soim.

Hingga saat ini perlawanan terus dilakukan secara halus melalui pertanian, perkebunan dan berbagai media baik cetak maupun elektronik.[]

 

Penulis : Wahidul Halim

Satu tanggapan untuk “Upaya Warga Melawan PT. Margola

  1. Saya lahir dan besar di desa yg tidak jauh dari kawasan pertambangan ini, sejak kecil selalu bertanya-tanya tentang gowa lawa dan pertambangan marmer, namun tidak ada yg bisa menjelaskan sedetail tulisan ini. Terimakasih telah menyuguhkan tulisan yg kronologis&komprehensif.

    Suka

Tinggalkan komentar