OPINI

Menjunjung Bahasa Jurnalistik yang Satu: Bahasa Kebenaran

press-1015988_1920
Ilustrasi: Gambar oleh Alexas Fotos dari Pixabay.

MUNGKINKAH menyeragamkan bahasa jurnalistik di media massa? Mungkin! Pertama, jika negara membuat undang-undang yang mengharuskan setiap media massa – baik media cetak, media audio (radio), media audiovisual (televisi), maupun media berbasis internet – mempergunakan satu ragam bahasa jurnalistik yang disusun secara sentralistik oleh lembaga yang kompeten dan melibatkan semua pemangku kepentingan. Dan, ada penerapan sanksi yang tegas, tanpa sikap tebang pilih, bila suatu media tidak menaati peraturan itu. Sanksi itu menuntut penegakan hukum yang konsisten, dengan mengedepankan rasa keadilan, tidak semata-mata bertumpu pada hukum positif.

Bila langkah imperatif itu tidak efektif atau tak mungkin ditempuh, bisa dilakukan langkah kedua. Langkah itu berupa tindakan represif, yakni negara menguasai dan mengelola semua media massa dengan manajemen tunggal bertangan besi, sehingga pengharusan pemakaian bahasa jurnalistik yang seragam menjadi keniscayaan.

Nah, bila langkah kedua pun tak mungkin dilakukan – karena, juga dianggap bertentangan dengan semangat keterbukaan dan demokrasi – ambil langkah ketiga. Itulah langkah spektakuler: menyatukan semua media dalam penguasaan lembaga superbodi di luar struktur organisasional negara atau bersifat ad hoc semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang mampu memaksakan kehendak agar hanya memakai satu ragam bahasa jurnalistik. Seragam!

Namun saya yakin ketiga langkah itu tak bisa ditempuh. Sebab, akan menghadapi tiga kendala pelik, yakni kendala teknis, kendala bisnis, dan kendala politis. Secara teknis tak mungkin lagi negara dan kekuatan di luar negara menjadi penguasa tunggal kebenaran, termasuk dalam berbahasa. Bahkan keputusan politik agar pada suasana dan keperluan formal, bahasa baku – yang baik dan benar, sesuai dengan kaidah dan ejaan bahasa yang disempurnakan — yang dipergunakan, tak pernah bisa diterapkan secara “murni dan konsekuen”. Bukankah bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun, misalnya, memberikan contoh lewat kegemaran berbahasa atau mengungkapkan sesuatu dengan bahasa asing, bahasa Inggris, bahkan ketika menujukan pidatonya kepada rakyat di negeri ini? Jika Presiden saja tak menaati “konsensus” berbahasa, bagaimana bisa mengharapkan aparat negara, pemerintahan,dan apalagi masyarakat umum mau secara sukarela berbahasa Indonesia dengan “baik dan benar”?

Maka jika dengan cara dan jalan imperatif, represif, tak bisa, adalah musykil menyeragamkan bahasa jurnalistik di media massa dengan cara lebih halus, lebih lembut: mengimbau-imbau. Karena, cara mengimbau-imbau itu pun bakal gagal menghadapi beberapa kendala.

Kendala pertama bersifat teknis. Meski mungkin itu kendala paling ringan, toh tak gampang diatasi. Itu berkait dengan penguasaan bahasa Indonesia oleh para jurnalis dan atau redaktur media massa – yang, harus diakui, sangat memprihatinkan. Sarjana lulusan fakultas yang mempelajari bahasa Indonesia pun tak mempunyai basis kepenulisan – yang mensyaratkan penguasaan dan kemampuan berbahasa memadai, apalagi para jurnalis dari berbagai bidang keilmuan yang tak menjadikan bahasa Indonesia sebagai peranti kerja yang mutlak dikuasai. Meski, kita tahu bahasa Indonesia adalah satu mata uji dalam pendidikan formal dari jenjang terendah sampai tertinggi. Nah, jujur, penguasaan dan kemampuan berbahasa yang lemah itu jika dibarengi atau dikombinasikan dengan insentif kerja dan perlindungan kerja yang rendah, makin membuat jauh panggang dari api jika kita berharap jurnalis dan redaktur makin hari kian piawai berbahasa.

Kedua, kendala bisnis. Perbedaan skala usaha atau bisnis media serta cakupan dan pilihan segmen baca yang berbeda membuat kemungkinan menyeragamkan pemakaian bahasa jurnalistik mustahil pula. Kendala bisnis pun punya implikasi teknis. Kenapa? Lantaran, misalnya, ada media berorientasi pasar lokal atau regional yang bertumpu pada warna lokal. Tak terhindarkan, warna lokal, kearifan lokal itu paling pas diungkapkan pula lewat atau dengan ungkapan (bahasa) lokal. Pertimbangan itu didasari kesadaran membangun ikatan emosional – sebagaimana asas kedekatan (proksimitas) dalam penulisan berita. Segmen pasar atau orientasi pasar itu juga acap diterjemahkan dalam pilihan pemakaian bahasa. Seolah-olah atau niscaya pula ada perbedaan pemakaian bahasa, misalnya, meski sama-sama bahasa Indonesia, untuk kelas bawah, kelas menengah, dan kelas menengah ke atas.

Ketiga, kendala politis yang erat berkait dengan kecenderungan atau afiliasi politik pemilik (saham mayoritas) perusahaan media. Ada media (oportunistik) yang memilih mengikuti ke mana arah angin (kekuasaan) bertiup. Ada media yang, karena pilihan dan afiliasi politisnya, memilih cuma menujukan pandangan ke satu arah, tak peduli angin terus berubah-ubah arah. Ada media berbasis keagamaan dengan kecenderungan penggunaan bahasa yang mengacu ke “bahasa agama”. Dan lain-lain, dan sebagainya.

Nah, bagaimana pula bila kepentingan bisnis dan politis menyatu dalam satu pengelolaan dan produksi bisnis media? Dengan kata lain, setiap media dimiliki atau dikuasai oleh pemimpin (partai) politik atau oligarki politis: pengusaha sekaligus penguasa.

Sampai pada titik ini, bahkan saya rada ragu pula mengajukan tawaran lebih realistis, lebih mungkin diwujudkan. Karena upaya mewujudkan perkara itu pun membutuhkan konsistensi, keajekan, keistikamahan terus-menerus dari segenap pemangku kepentingan pemakaian bahasa di media massa. Dan, jelas itu bukan perkara mudah. Selain itu perlu sinergi semua pemangku kepentingan: menyatukan segala pengetahuan dan kemampuan berbahasa agar pers, media, di negeri ini sesungguh benar menjadi eksponen perawat, pengembang, pelestari bahasa (jurnalistik) Indonesia yang mencerdaskan. Ya, itulah bahasa (jurnalistik) yang mencerdaskan.

***

Seperti apakah bahasa jurnalistik yang mencerdaskan? Ini bukan formula baru, bukan gagasan baru, bukan pula gagasan orisinal. Sebab, sebenarnya, seperti “itulah” semestinya bahasa jurnalistik sejak semula. Itulah bahasa yang menyampaikan kebenaran – sebagaimana tugas yang diemban jurnalisme: melaporkan keadaan sebagaimana adanya, dengan harapan memantik kesediaan siapa pun untuk mengubah keadaan menjadi sebagaimana seharusnya.

Ada tiga perkara pokok mesti diretas, mesti dibenahi, dalam berbahasa (dalam pelaksanaan tugas jurnalistik) agar menjadi bahasa yang benar-benar mencerdaskan – yang secara jernih mampu menyatakan kebenaran. Pertama, meretas bias Orde Baru; ketika bahasa yang dipergunakan secara sadar sebagai peranti atau instrumen kekuasaan, lalu mewujud sebagai penjajahan linguistik. Itu tampak antara lain dari produktivitas nyaris inflatif pemakaian kata “oknum”, frasa “lembaga dan kementerian terkait”, serta penggunaan singkatan dan akronim yang tak sesuai dengan kaidah pembentukan singkatan dan akronim. Kata “oknum”, frasa “kementerian terkait”, serta singkatan dan akronim sembarangan, dan penghalusan kata atau eufemisme khas Orde Baru telah menyembunyikan atau memanipulasi kenyataan. Kenyataan bisa tampil di hadapan pembaca, pendengar, pemirsa menjadi lebih baik atau sebaliknya lebih buruk sesuai dengan keinginan penguasa. Karena kekuasaan Orde Baru bertumpu pada antara lain manipulasi sejarah, langkah represif sebagai modus penaklukan pun menjadi kelaziman. Dan, salah satu perangkat penaklukan itu adalah stigmatisasi. Peneraan cap buruk terhadap seseorang atau kelompok, bahkan suatu etnis, dengan mudah menjadi sarana pemberangusan hak hidup. Ingat, misalnya, peneraan ekstrem kanan, ekstrem kiri, nonpribumi, eks tahanan politik (ET), PKI, dan sebagainya. Tak ayal, media pun kehilangan kritisisme, kehilangan daya kritis: menelan mentah-mentah kategorisasi, klasifikasi, jargon, slogan, eufemisme dalam pemakaian bahasa yang mengandung (hasrat dan motif penaklukan dan pemberangusan lewat) kekerasan.

Kedua, bias gender. Itulah pemakaian bahasa yang sadar atau tidak menempatkan perempuan sebagai subordinasi lelaki. Contoh paling mencolok bisa kita takar, misalnya, dari judul sebuah berita di suatu media: “Turu Mekangkang, Digrumut Tangga”. Itu berita tentang perempuan yang diperkosa oleh sang tetangga. Bayangkan, betapa ngawur perspektif yang dipergunakan. Mungkin motif memenuhi hasrat sensasional membuat sang wartawan dan redaktur tak menyadari judul dan berita tersebut telah menjadikan korban pemerkosaan menjadi korban kali kedua di media massa. Korban dilukiskan bertindak aktif yang mengundang pemerkosaan lewat pemakaian kalimat aktif: turu mekangkang, tidur mengangkangkan kaki. Adapun pemerkosa, seolah-olah, memperoleh pembenaran: memerkosa lantaran “terprovokasi” ulah “proaktif” korban. Dan, itu digambarkan lewat pemakaian kalimat pasif: digrumut tangga. Perkara menjadi makin runyam lantaran ideologi ibuisme negara terus berlanjut sampai sekarang: yang menempatkan perempuan sebagai warga negara kelas dua. Maka, tak terhindarkan sekali lagi kritisisme terbungkam oleh kenyataan yang seolah-olah tak bisa diubah dan menjadi kewajaran; yang memanifes dalam bahasa di dan oleh media massa.

Ketiga, bias kompleks rendah diri sebagai pribadi dan bahkan sebagai suatu negara-bangsa – berkait dengan kelemahan atau pengabaian “pembangunan” karakter. Dan, celaka, “penyakit” itu diidap (kebanyakan) justru oleh kaum (yang disebut atau menyebut diri) terpelajar, kaum intelijensia, intelektual, yang bekerja, menulis, dan membaca media massa di negeri ini. Makin acakadut ketika kompleks rendah diri, yang antara lain disamarkan lewat penggunaan bahasa asing yang bertebaran dalam tulisan, dibarengi kemalasan berperan aktif sebagai “pencipta” bahasa yang memperkaya bahasa Indonesia, dan tentu saja akhirnya juga memperkaya ragam bahasa jurnalistik.

Penyerapan berbagai kosakata asing acap terjadi secara manasuka, tanpa mempertimbangkan keberterimaan sesuai dengan kaidah dalam bahasa kita. Lalu, pengecualian menjadi lazim, meruyak, dan akhirnya bahkan bisa membuat penutur bahasa Indonesia meragukan ketepatan istilah, kata, ungkapan, kalimat yang sebenarnya justru sudah tepat sejak awal. Ambil contoh, kita fasih mengucapkan singkatan liquid petrolium gas dengan mengambil unsur bunyi singkatannya (LPG) menjadi elpiji. Namun perlakuan berbeda kita terapkan pada liquid non-petrolium gas, sehingga kita tidak menyerap dan mengucapkan menjadi elinji misalnya.

***

Nah, kini, mau dan mampukah kita mengatasi ketiga kendala tersebut, sehingga bahasa (jurnalistik) sesungguh benar bisa menjadi bahasa yang mencerdaskan, yang menguarkan kebenaran? Dan, bagaimana caranya? Ya, mari,kita diskusikan.

Penulis: Gunawan Budi Susanto.

Editor: Miftahul Sidik.

Tinggalkan komentar