Catatan Diskusi · Doenia Bergerak

[Bab III: Sub-Bab B] Peran Marco Dalam Pergerakan Buruh di Semarang

Dunia_Bergerak___Keterlibatan_Mas_Marco_Kartodikromo_di_zama
Sumber: https://www.demabuku.com/

Marco kembali ke dunia pergerakan setelah keluar dari penjara pada 30 Maret 1918 dan bergabung dengan Semaoen, ketua SI (Sarekat Islam) cabang Semarang. Marco kemudian menjabat sebagai redaktur suratkabar Sinar Djawa sekaligus komisaris SI. Di Sinar Djawa ia menulis tentang “Douwes Dekker dan Sneevliet” yang menurutnya pantas dihormati. Ada persamaan Ideologi antara Marco, Douwes, dan Sneevliet hingga mereka saling memberi kesan, bantuan, dan pertolongan.

Beberapa bulan kemudian di Sinar Hindia pada 16 April 1918, Marco menulis bahwa manusia itu sama rasa sama rata. Kemudian pada Kamis, 23 Mei 1918 Marco menulis kembali artikel berjudul “Sama Rasa Sama Rata”. Di edisi tersebut, Marco mengutip tulisan Max Havelaar tentang Sentot Alibasja Prawirodirdjo yang bersama Diponegoro menentang Belanda. Menurut Marco, kematian Sentot sangat berani tidak seperti kupu-kupu yang mati “njawanja telandjang tidak karuan, badannya dimakan semoet dan ajam” (Hartanto, 2017: 135). Dengan tulisan ini Marco mencoba memompa keberanian Bumiputera untuk menentang Belanda.

Kemudian di suratkabar Sinar Hindia, 28 Mei 1918, Marco menulis tentang Belanda yang gila hormat dan bumiputera yang penakut. Marco juga menyayangkan Kanjeng Sinuwun di Solo yang menyebut Gubernur Jenderal dengan “eyang” dan Resident dengan “bopo” yang menurutnya malah merendahkan derajat bumiputera. Menurut Marco, pembaca Sinar Hindia tahu bahwa Belanda gila hormat.

Pada 14 Agustus 1918, Marco menulis syair “Awas! Kaoem Joernalist!”. Pada waktu itu Marco merasa bahwa menjadi jurnalis itu sangatlah berat, terutama ancaman pemerintah yang tak segan-segan memberangus mulut pers agar tidak berkata sebetulnya.

Ketika Marco menerbitkan Doenia Bergerak, pemerintah mengeluarkan artikel-artikel menurut Strafwetboek yang telah dibuat lebih tajam (Staatblaad Hindia Belanda tahun 1914 No. 205/6) yakni,  Art. 63b yang ditujukan untuk kaum bumiputera dan sesamanya (Hartanto, 2017: 137). Seperti yang dipaparkan oleh Agung Dwi Hartanto, artikel-artikel tersebut berbunyi:

“Siapa yang dengan perkataan atau tanda-tanda atau dengan petunjukan atau dengan lain rupa jalan guna menimbulkan atau memajukan perasaan perseteruan, benci atau pencelaan di antara berbagai-bagai golongan rakyat Nederland atau penduduk Hindia Belanda, bakal dihukum Art. 63b dengan hukuman tutup dari enam hari hingga 5 tahun, Art 66 b dengan hukuman kerja paksa di luar rante paling lama 5 tahun, percobaan pada kejahatan ini bakal di hukum” (Hartanto, 2017: 137).

Peraturan tersebut membuat Marco menghidupkan Inlandsce Journalisten Bond (IJB) atau Sarekat Pengarang Bumiputera dan organnya Doenia Bergerak. Tujuannya adalah untuk menolong para juranalis yang terkena delik pers. Namun sayangnya, sampai Agustus 1918, niat itu belum terwujud. Marco sangat menyarankan kepada para jurnalis baik dari kaum Bumiputera, Eropa, maupun Tionghoa untuk membuat Jurnalisten Bond sebuah perkumpulan untuk jurnalis demi kepentingan bersama yaitu kemerdekaan berpendapat dalam suratkabar.

Pada 19 Agustus 1918, Marco kembali menulis artikel “Orang Asia di Asia” yang berisi keluh kesahnya pada dunia pendidikan. Artikel berlanjut pada tulisannya “Kita Oerang Poen Manoesia” yang dalam tulisan ini Marco mencoba menjelaskan bahwa semua manusia itu memiliki hak yang sama. Di saat yang bersamaan, pemerintah membuat Volksraad (wakil rakyat) yang menurut Marco hanya akan membuang-buang uang saja. Meskipun demikian, ia tetap memberikan tanggapan terhadap hal tersebut bahwa jika pun pemerintah kolonial tetap ingin membuat Volksraad setidaknya harus mengangkat kaum bumiputera sedikitnya 20 orang yang dipilih langsung oleh rakyat dan seluruh wakil rakyat tersebut menggunakan bahasa melayu. Dengan demikian, Volksraad baru bisa dinamakan sebagai Wakil Rakyat Sedjati (Hartanto, 2017: 140).

Sebulan berikutnya, ramai di kalangan pergerakan tentang pembentukan milisi bumiputera yang bernama Indieveerbaar. Marco secara terang-terangan menentang pembentukan milisi tersebut. Oleh karena ketidaksetujuannya itu, Marco kembali dipenjarakan oleh pemerintah kolonial selama satu tahun. Menurutnya, Indieveerbaar hanya akan “memasoekkan anak hindia ke lobang meriam”. Tetapi Marco mendapat dukungan dari kongres Nasional Sarekat Islam (SI) ke III yang digelar di Surabaya.

Kongres Nasional SI ke III ini memutuskan menentang pemerintahan kolonial Belanda yang kapitalistik dan menentang setiap kalangan yang melindungi praktek kapitalisme. Tekad melawan kapitalisme diwujudkan dengan mengorganisir kaum buruh di kota-kota. Akan tetapi kongres tidak berjalan mulus, terjadi perselisihan antar dua kubu, kubu yang pertama yaitu Marco, Semaoen dan Darsono, anggota  Indische Sociaal Democratiische Veereninging (ISDV), dan pentolan SI Semarang. Sedangkan kubu kedua yakni pengurus Central Sarekat Islam (CSI) Tjokro Aminoto, Agoes Salim, Abdoel Moeis dan lain-lain. Permasalahannya yaitu keterlibatan CSI dan Volkraad, Indieweerbaar (milisi bumiputera), disiplin partai, aksi massa kaum buruh dan sebagainya. Meski bertujuan sama, mulai terjadi perbedaan dalam tubuh SI. Dimana golongan muda SI ingin bergerak cepat tanpa kerja sama dengan pemerintah, sedangkan golongan tua SI ingin bergerak lambat dan melunak dengan pemerintah. Dalam kondisi terbelahnya pandangan di SI, Marco masih belum memutuskan untuk keluar. Marco masih beranggapan bahwa SI akan menjadi kendaraannya untuk mencapai apa yang ia cita-citakan yakni kemerdekaan dari penjajahan.

Pada 9 Desember 1918, Marco menulis tentang Sneevliet. Sneevliet yang juga pendiri ISDV adalah orang yang membantunya keluar dari penjara pada 1915. Berlanjut pada 12 Desember 1918, R.M. Tirto Adhi Soerjo meninggal. Kematian Tirto semakin membuatnya bersemangat untuk mengkritik pemerintah kolonial yang membuang Sneevliet dan penangkapan Darsono sebagai redaktur Sinar Hindia di Surabaya. Pada 23 Desember 1918, ia menulis sair “Badjak Laoet” sebagai reaksinya terhadap polisional yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda. Sair tersebut mengandung seruan perjuangan bagi kaum pribumi untuk dapat merubah nasib penderitaan yang dialami. Namun dalam sairnya tersebut, Marco tidak menunjuk secara eksplisit kaum yang membuat bangsanya menderita. Melainkan, ia hanya menyematkan tanda titik-titik saja. Meskipun demikian, maksud dari tanda tersebut memiliki konotasi untuk menyindir pemerintahan kolonial.

Makah hal ini haroes dipikir,

Akan goena merubah takdir,

Soepaja kita bisa mengoesir,

Manusia bangsa orang …! (Hartanto, 2017: 146).

Sair ini kemudian mengundang masalah. Pada 7 Januari 1918, Marco pergi ke kantor Assisten-Resident untuk dimintai keterangan mengenai artikelnya di suratkabar Sinar Hindia yaitu “Saudara Darsono Ditangkap” dan “Badjak Laoet”. Hasilnya, Marco mengikuti keputusan Assisten-Resident untuk membuat pernyataan bahwa maksud dari sair “Badjak Laoet” yang ia muat tidak hanya ditujukkan untuk orang-orang Belanda. Akhirnya Marco lepas dari pengadilan tetapi Darsono tetap dinyatakan bersalah.

Pada tahun 1919 Hindia Belanda dilanda masalah kelaparan. Krisis pangan yang terjadi di Semarang justru membuat anggota baru SI Semarang semakin bertambah. Peningkatan jumlah anggota baru hingga mencapai 26.900 anggota pada 18 Januari 1918 dan di pertengahan 1919 bertambah sebanyak 2.741 orang dengan jumlah total kira-kira 29.641 anggota. Dari jumlah tersebut yang memiliki bewijs lid maatschap (kartu keanggotaan SI Semarang) sebanyak 14.424 orang. Jumlah itu berasal dari kaum buruh, dan dari non-buruh sebanyak 3.041 orang. Hal ini membuktikan bahwa propaganda Marco, Darsono, dan Semaoen berhasil. Tapi Marco tetap harus berjuang keras karena semenjak 1913 SI Solo yang merupakan cikal bakal dari SI di kota lain mengalami kemunduran, terlebih sepeninggalan Sosro Koornio, SI Solo semakin terpuruk.

Kemudian SI Semarang melakukan rapat tahunan dan dihadiri oleh petinggi SI Semarang seperti: Semaoen, Noorsam, Moh. Kasan, Manap, Kasrin, Jahja, dan Marco. Dan dari bestuur perempuan yaitu: Salemah, Roeliyah, Asiah dan Soeto. Dari hasil rapat tersebut Semaoen mengirim telegram kepada pemerintahan yang berisi meminta pemerintah untuk mengurangi tanaman tebu sebesar 25%-50% dengan tujuan agar dapat sedikit mengurai persoalan kelaparan yang sedang menimpa Hindia Belanda.

Lalu pada 16 Februari 1919, Misbach menghimpun kekuatan tani kemudian mendirikan Lingkar Tani di Desa Nglunge, Klaten. Marco menyambutnya dengan menerbitkan Medan Bergerak pada 18 Februari 1919, yang merupakan pengganti Sarotomo yang mati pada tahun 1915. Misbach melakukan propagandanya di Solo, namun Marco saat itu belum dapat bergabung dengan Misbach, ia masih di Semarang bersama Semaoen. Pada tanggal 8-9 Maret 1919, SI Semarang mengadakan pertemuan. Pertemuan itu mengingatkannya pada Doenia Bergerak, organ IJB yang pernah didirikan Marco pada 1914. Harapan Marco untuk kembali menghidupkan IJB terwujud. Tjipto Mangoenkusoemo terpilih sebagai ketua IJB. Meskipun Marco tidak terpilih menjadi ketua IJB, namun ia tetap bergerak dengan tulisan-tulisannya di Sinar Hindia, mengurusi buruh, dan berusaha menghidupkan SI Solo dengan koran Medan Bergerak-nya. Kemudian Misbach, selaku teman dekatnya di Solo, melengkapi “medan” pergerakan dengan Medan Moeslimin dan Islam Bergerak. Marco dan Misbach mempunyai kesaman pikiran yaitu Islam yang mempunyai kekuatan melawan kapitalisme.

Seiring berjalannya waktu, SI Semarang melemah disebabkan kasus yang menimpa Semaoen dan Darsono. Hal ini mengakibatkan SI Semarang hanya dipegang oleh Marco sendiri. Namun sayangnya, Marco tidak memiliki kecakapan dalam memimpin propaganda di lapangan, berbeda dengan Darsono dan Semaoen.

April 1919, Medan Bergerak kembali terkena delik pers akibat artikelnya tentang Pabrik gula. Di sini terjadi balas membalas kritik antara redaktur Medan Bergerak dan Assisten-Resident Kebumen. Kembali ke Solo, gerakan di Solo semakin Radikal, radikalisme tersebut juga terjadi dalam tingkatan petani. Aksi pemogokan masal yang dilakukan 170 petani mereka menuntut kenaikan glidig dan menyatakan bahwa mereka anggota Insulinde.

Pemerintah tidak berhasil meredam pemogokan para petani. Pak Ngabid beserta enam pemimpin kring dituduh melakukan aksi illegal, dan membiarkan administrasi desa mencabut hak atas tanah komunal. Aksi tersebut akhirnya menimbulkan gerakan serupa di desa Karang Duren. Selanjutnya kring Karang Duren mengadakan pertemuan dengan tujuan untuk mengikuti jejak Dimoro. Para petani yang tergerak propaganda Misbach makin menunjukkan keberaniannya. Misbach bertanggung jawab atas efek propagandanya. Sebagai jawaban atas ditangkapnya Pak Ngabid dan ke enam pemimpin lainnya, Misbach mengadakan pertemuan yang berisi penyerangan terhadap penguasa yang telah menangkap pemimpin kring dan petani dilarang untuk tidak terus mogok. Saat itu Marco belum bisa menemani Misbach, tetapi korannya, Medan Bergerak, terus memantau pergerakan para petani.

Soerdjo Nitihardjo yang menjabat sebagai verantwoodelick medewerker (pembantu penanggung jawab) dari Medan Bergerak diperiksa pemerintah karena artikelnya “Oerang Djawa Boekan Binatang”. Sehari setelahnya, Misbach didakwa oleh pemerintah kolonial karena telah menghasut massa dan menganggu ketertiban umum. Lalu Mei 1919, terjadi bulan buruh yang mana di berbagai daerah mengadakan pemogokan para buruh yang berujung Misbach masuk bui. Semarang tidak tinggal diam, melalui Sinar Hindia, mereka membela kepentingan para buruh.

Di Yogyakarta sendiri Soerjopranoto menggalang aksi buruh. Semua aksi buruh dipimpin oleh orang-orang pergerakan dengan bahasa propagandanya, seperti Marco.  Pada awal Juni 1919, Marco berada pada situasi yang pergerakan yang begitu cepat. Awal Juni 1919 partai ISDP (Indiesche Social Democratische Partij) terbentuk di Hindia Belanda yang merupakan pecahan ISDV (de Indiesche Social Democratische Vereniging) yang mendapat pengaruh dari SDAP (Social Democratische Arbeiters Partij) di negeri Belanda. ISDP berubah menjadi yang partai yang berdiri sendiri, terbuka, dan berlandaskan marxisme.

Solo dan Semarang semakin memanas yang membuat para aktitivis focus pada pergerakannya masing-masing. Marco salah satunya. Melalui Medan Bergerak, Marco mencoba memberitahu kepada para pembaca tentang kerasnya pergerakan di Semarang yang membutuhkan banyak tenaga. Dan di saat itu pula, Marco mengundurkan diri dari redaksi Medan Bergerak. Marco, meski berteriak-teriak melalui Dunia Bergerak, ia tidak pernah ditangkap, sebaliknya justru Soejo Nitihardjo yang ditangkap pada 10 Oktober 1919 karena tuduhan melawan dan menghina pemerintah. Marco masih aman sampai ia mengikuti kongkres CSI ke IV di Surabaya.

Marco sebagai perwakilan SI Semarang mengikuti kongres yang bertujuan untuk memusatkan semua sarikat pekerja, antara lain mengadakan Erste Kamer (dewan perwakilan rakyat sejati) yang akan memimpin gerakan perlawanan kelas-kelas; perkumpulan-perkumpulan itu hendaknya mengadakan Twade Kamer dari dewan itu. Kongres tersebut diharapkan dapat memperbaiki aksi-aksi SI yang telah menjadi organisasi besar di dalam pergerakan (Hartanto, 2017: 163). Tetapi perpecahan SI membuat SI mendapat serangan dari pihak ISDV, Marco ada di pihak ini meskipun tidak ikut resmi dalam ISDV. Di dalam kongres ini Marco terpilih sebagai Komisaris CSI. Namun P.J Gerke (Pejabat di pemerintahan kolonial) mengkritiknya bahwa menurutnya, posisi Marco saat ini membahayakan pemerintahan Hindia Belanda.

Ketika SI mulai goyah dan NIP-SH (Nationaal-Indische Partij atau Sarekat Hindia) di Solo mengendur radikalismenya, hal terbalik justru terjadi di Yogyakarta. Soerjopranoto, kakak Soewardi, dan juga presiden Adi Dharma dengan kemampuan berbahasanya makin bergerak cepat beraturan. Salah satu yang terbesar ialah Personeel Fabrieks Bond (PFB). PFB sendiri terus berkembang dan menjadi organisasi terbesar di Hindia Belanda dengan 90 cabang dan 10.000 anggota di seluruh Jawa.

Kemudian, PFB bersama SI dan ISDV mengadakan rapat dan membentuk Perserikatan Pergerakan Kaoem Boeroeh (PPKB). Di dalam pertemuan tersebut terpilihlah Semaoen sebagai ketua dan Soerdjopranoto sebagai wakil. PPKB sendiri berada di Semarang. Pertemuan tersebut terus berlanjut dan dalam propaganda Soerdjopranoto di kongres tersebut menjelaskan kondisi bumiputera yang menurutnya makin memburuk, sedangkan kapitalis semakin baik. Hal tersebut terjadi karena penggunaan teknologi dalam proses produksi yang menyebabkan banyaknya pengangguran. Hasil kongres memutuskan untuk membuat Boeroeh Bergerak yaitu sebagai organ pendukung gerakan di mana R.M. Sumodiharjo sebagai ketua redaksi dan Kartosuharjo sebagai pembantu.

Sebelum gerakan revolusioner masuk ke desa-desa dan kota, jauh sebelumnya para kaum buruh atau kromo memandang kekuasaan feodal sebagai sesuatu yang keramat, langgeng, tak tergoyahkan, dan keterbelakangan mereka adalah takdir, dan nasib mereka tidak akan berubah. Namun setelah mengenal Semaoen dan tokoh komunis lainnya, mereka mengenal semangat politik dan programnya, mereka melihat jalan keluar yang sebenarnya (Hartanto, 2017: 166).

 

Penulis: Dwi Agung Hartanto (Redaktur Rubrik Sastra Jaganyala)

 

Tinggalkan komentar