Catatan Diskusi · Doenia Bergerak

[Bab II] Pemikiran Kebangsaan Marco Kartodikromo

Dunia_Bergerak___Keterlibatan_Mas_Marco_Kartodikromo_di_zama
Sumber: https://www.demabuku.com/

Di dalam bab dua bukunya ini, Agung Dwi Hartanto menceritakan perjuangan Marco dalam emansipasi hak di Hindia Belanda, emansipasi perempuan, emansipasi penulisan sejarah bumiputera, emansipasi pendidikan bumi putera dan pemikirannya tentang bahasa melayu.

Emansipasi hak di Hindia Belanda menjadi perjuangan yang tidak mudah bagi Marco sebab dia harus berurusan langsung dengan Dr. Rinkes seorang pemimpin Welvaart Comisse (komisi kesejahteraan Hindia Belanda). Perseteruan itu dimulai ketika Marco mengkritik DR. Rinkes, yang juga saat itu merangkap jabatan sebagai penasehat Gubernur Jenderal, melalui surat kabar Saroetomo edisi 10 November No. 142, 1914.  Dalam tulisannya, Marco mengungkapkan bahwa pemerintah Hindia Belanda dan segala perangkatnya lebih tepat dikatakan penghisap. Polemik itu dipertajam ketika, dalam kritiknya tersebut, Marco mengakronimkan Welvaart Comisse menjadi W.C. yang mengasosiasikan suatu tempat yang jorok dan berbau busuk. Akronim inilah yang menyinggung Rinkes hingga dia menulis surat teguran kepada pemimpin Sarekat Islam (SI) sekaligus Saroetomo yang digawangi oleh Haji Samanhoedi. Teguran kepada Marco memperjelas bahwa pemerintahan Hindia Belanda melakukan polisional.

Polemik antaran Marco dan Rinkes terus berlanjut dengan saling menyerang lewat tulisan yang pada akhirnya menyudutkan Marco dengan realita yang disampaikan Rinkes bahwa apa yang dilakukan Welvaart Comisse tidak sepenuhnya tanggung jawab petinggi Belanda, sebab ada kaum bumiputera yang duduk di komisi ini. Bahkan Rinkes juga menyeret bupati Demak dan Serang untuk menguatkan argumennya.

Marco juga mempermasalahkan laporan mengenai kesejahteraan masyarakat bumiputera yang bertolak belakang dengan kondisi nyatanya. Di Hindia Belanda tetap banyak terjadi ketimpangan sosial. Marco memandang pemerintah Hindia Belanda lah yang melanggengkan ketimpangan tersebut, serta memanfaatkan hierarki sosial Jawa yang telah berlangsung sekian abad sejak jaman Hindu-Buddha untuk kepentingan kolonialisasinya. Lebih parahnya lagi, hasrat melanggengkan status sosial juga dilakukan oleh para Bupati dan keturunan bangsawan lainnya. Misalnya, pada hal yang terkecil, cara berpakaian bergaya Eropa. Hal ini nampak pada tulisannya Marco di Doenia Bergerak.

Marco terus bersikeras untuk menyamaratakan hak di antara semua masyarakat bumiputera, tetapi tidak dengan para priyayi yang justru ingin mempertahankan hak-hak istimewa mereka. Ada sebuah tulisan yang mengambarkan keadaan ini Djagoel, Djangol enco Gogol. Marco juga sempat mengomentari tulisan Gogol bahwa dia sangat tidak menyenangi para priyayi yang harus dihormati. Sebab, dia berpikiran sebaliknya, justru priyayi yang harus melayani kesejahteraan wong cilik. Dan ketika wong cilik meminta hak mereka kepada para priyayi, bagi Marco, itu merupakan hal yang wajar.

Emansipasi perempuan menjadi satu masalah lain bagi Marco sebab, di negeri terjajah, perempuan adalah sosok yang paling menderita. Sistem patriarki yang berlaku sejak jaman kerajaan Nusantara adalah penyebab utamanya, terlebih lagi budaya patriarki ini sangat memudahkan Belanda menjalankan praktik kolonialnya dengan cara mengukuhkan sistem tersebut.

Dari kondisi tersebut, Marco mengatakan bahwa perempuan bukan sebagai sosok yang lemah. Justru ia membayangkan perempuan adalah mahkluk yang kuat. Dengan ini kita dapat melihat bahwa Marco tidak turut menambal mitos bahwa laki-laki itu kuat, bahkan dia justru mengatakan bahwa ada juga laki-laki yang jahat. Marco juga meminta kaum perempuan untuk tampil sebagai pemberani. Sebab dalam pikiran Marco, perempuan adalah mahluk yang harus memiliki jiwa pemberani, tangguh, dan cerdas.

Lalu, permasalahan lain yang diderita perempuan di Hindia Belanda adalah pergundikan. Para gundik berkedudukan sama dengan nyai dan diterima sebagai kenyataan sosial yang wajar oleh masyarakat Hindia Belanda saat itu. Dalam kerisauannya itu, Marco sempat membuat tulisan yang di dalamnya berisikan harapan tentang adanya perkawinan legal di Hindia Belanda dengan adanya pertunangan. Para nyai, menurut Marco, jangan hanya jadi budak seksual para penggundiknya. Marco juga dalam tulisan ini mengharapkan kepandaian perempuan bumiputera sehingga mereka tidak mudah ditipu oleh para lelaki yang suka mempermainkan mereka. Marco memiliki contoh perempuan “ideal” yang dia bayangkan yakni R.A Siti Soendari yang merupakan redaktur Wanito Sworo sekaligus guru sekolah anak perempuan di Pacitan.

Siti Soendari adalah bangsawan yang memiliki kecerdasan dan semangat untuk membebaskan perempuan dari kebodohan. Siti juga, sebelum menjadi redaktur Wanito Sworo, adalah anak didik dari Tirto Adhie Soerjo. Barangkali, inilah gambaran perempuan cantik menurut Marco sebab bukan hanya cantik fisik dan tabiat, terlebih, pintar, berkarakter, revolusioner sekaligus pemberani. Perempuan macam itu selalu dibayangkan Marco dan mengispirasinya untuk menuliskan dalam naskah-naskah non fiksi maupun fiksinya.

Dalam perjuangan emansipasi penulisan sejarah bumiputera, pemikiran Marco tertuang dalam sebuah tulisan sejarah yakni Babad Tanah Djawa. Tulisan Marco ini menjadikannya sebagai pribadi yang tidak mudah untuk dikenal. Pada mulanya, orang jamak mengenal Marco sebagai seorang jurnalis radikal, organisatoris dan sastrawan. Namun, setelah ia menerbitkan Babad Tanah Djawa, membuktikan bahwa Marco juga merupakan seorang sejarahwan. Bahkan bisa dikatakan ia seorang penulis sejarah Indonesia. Karangan Babad Tanah Djawa-nya diterbitkan secara berkala di majalah bulanan Hidoep pada tahun 1924.

Marco, sebagaimana Hoesein Djajadiningrat ungkapkan, merupakan salah satu orang yang merintis penulisan sejarah Indonesia modern. Babad Tanah Djawa telah melewati tahap-tahap metode sejarahwan modern. Metode sejarah Marco meliputi, pengumpulan sumber, kritik sumber, penafsiran, dan penulisan yang layak disebut sebagai karya ilmiah. Marco juga melakukan kritik terhadap sumber yang bertentangan atau tidak sesuai dengan sumber-sumber yang terbukti valid.

Maco mengawali tulisannya tentang asal-usul nama Jawa. Jawa, yang saat itu merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda, menurut Marco berasal dari kata jewawut, tanaman mirip padi yang banyak tumbuh di tanah itu. Pada bab dua Babad Tanah Djawa, Marco memaparkan mengenai kondisi Jawa semasa jaman Hindu. Pada bab empat, Marco menjelaskan mengenai agama Hindu di tanah Jawa.  Dari sini tampak bahwa marco memiliki pemahaman yang cukup luas mengenai ajaran Hindu, baik dari sistem kepercayaan maupun kasta yang diterapkan. Ia juga membandingkannya dengan ajaran Buddha. Menurutnya, agama Buddha sebenarnya bentuk baru dari konsep Trimurti sebagaimana yang terdapat pada Hindu. Marco juga membahas mundurnya kerajaan Majapahit dari  bab empat sampai bab lima dalam seri Babad Tanah Djawa-nya tersebut. Menurutnya, Kemunduran kerajaan Majapahit disebabkan oleh desakan agama Islam yang mulai merambah tanah Jawa. Dalam penulisan ini, Marco tidak ingin memakai bahasa Belanda sebab dia telah memiliki kesadaran bahwa sebaiknya sejarah bangsanya ditulis oleh kaum bumiputera sendiri. Meskipun demikian, Marco terpaksa mengutip sumber-sumber yang berbahasa Belanda karena selama itu, narasi mengenai sejarah bangsanya lebih didominasi oleh kaum penjajah.

Perhatian Marco yang lain adalah menuliskan biografi tokoh penting pergerakan di masa itu yakni Haji Misbach. Hal ini nampak dari tulisanya tentang pembuangan Haji Misbach, teman dekatnya di Surakarta, sebagaimana yang ia tuliskan di majalah Hidoep. Dalam menulis biografi Misbach, Marco telah memenuhi dua syarat penting yakni, Marco dekat secara emosional, dan kemampuanya menulis juga memungkinkan ia dekat secara intelektual. Pendek kata, Marco adalah saksi langsung perjalanan Misbach pada abad 20. Banyaknya sumber memudahkan Marco menulis biografi Misbach. Ia mengetahui persis karakter Misbach. Marco menuliskan biografi Misbach seperti pada umumnya, serta mengambil sumber-sumber lain untuk mendukung sumber primer. Seperti dari surat kabar yang menulis riwayat singkat Misbach yakni Sinar Hindia edisi 4 juli 1924. Marco juga mengutip surat kabar yang dikelola Misbach, Medan Moeslimin edisi juli 1924 untuk memperluas tulisannya mengenai riwayat hidup Misbach. Sumber terpenting bagi tulisan biografi Misbach datang dari tulisan Misbach sendiri.

Dalam perjuangan Emansipasi pendidikan bumiputera, kondisi Jawa ketika Marco hidup di akhir abad 19 dan abad 20, sudah terjamah pendidikan Barat. Hal ini dilakukan sebagai kelanjutan dari keputusan Ratu Wilhelmina tanggal 30 September 1848 tentang pembukaan sekolah dasar di negeri jajahan. Keputusan tersebut ditujukkan untuk memenuhi kebutuhan guru pada sekolah-sekolah dasar. Kemudian, terbitlah keputusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 30 Agustus 1851 yang mendasari pembukaan sekolah pendidikan guru (Kweekschool) pada tahun 1852 di Surakarta. Bahasa pengantar dalam kegiatan pembelajarannya menggunakan bahasa Jawa dan Melayu. Tetapi, murud-murid yang dapat mengenyam pendidikan tersebut berasal dari kalangan priyayi Jawa saja.

Sekolah ini pada 1875 dipindahkan dari Surakarta ke Magelang. Setelah Kweekschool pertama di Jawa dibuka di Surakarta, berturut-turut didirikan sekolah sejenis di berbagai daerah. Tetapi jenis sekolah ini sering mengalami pasang surut karena adanya perubahan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan sehingga beberapa sekolah ditutup dengan alasan penghematan keuangan negara. Bahasa Belanda mulai diajarkan pada tahun 1865 dan 1817. Bahasa tersebut merupakan bahasa wajib bagi setiap murid. Meskipun, pada tahun 1885, bahasa tersebut tidak lagi menjadi bahasa wajib dalam kurikulum pendidikannya. Hal ini disebabkan karena, pemerintah Hindia Belanda tidak banyak campur tangan terhadap pendidikan guru bagi golongan Eropa, dan diserahkan seutuhnya kepada swasta. Selain bentuk pendidikan yang didirikan oleh bangsa Belanda, organisasi Muhammadiyah yang didirikan K.H Amad Dahlan pada 18 november 1912 di Yogyakarta, juga merintis bidang pendidikan dan pengajaran bagi masyarakat Hindia Belanda. K.H Ahmad Dahlan, sebagai bapak pendidikan Indonesia, mengelola dan memperbaharui terus menerus konsep pendidikan di sekolah-sekolah yang dibangunnya. Sekolah-sekolah itu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, dan disesuaikan pula dengan sekolah-sekolah yang dibangun Belanda seperti Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Kweekscholl, Algemeene Middlebare School (AMS), dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Sejalan dengan perkembangan bidang pendidikan kolonial Hindia Belanda, pendidikan guru terbagi menjadi tiga jenis sekolah guru yaitu: 1) Normaalschool, yang merupakan sekolah guru yang mengunakaan pengantar bahasa daerah dengan masa pendidikan empat tahun dan menerima lulusan sekolah dasar lima tahun; 2) Kweekschool adalah sekolah guru dengan lama belajar empat tahun dan menerima lulusan sekolah dasar yang berbahasa Belanda; 3) Hollandsbch Inlandsch Kweekschool (HIK) yaitu sekolah yang mengunakan bahasa pengantar bahasa Belanda dengan masa pendidikan enam tahun dan bertujuan menghasilkan guru HIS atau HCS (Hollandsch Chineesche School).

Tetapi, Marco memiliki pandangan berbeda mengenai sekolah guru yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda. Menurut Marco, pemerintah masih kurang memperhatikan anak-anak negeri yang haus pengetahuan. Marco memandang bahwa pendidikan adalah hak setiap manusia. Di surat kabar Sinar Hindia edisi Senin, 19 Agustus 1918, Marco menulis keresahannya tentang pendidikan yang  menurutnya masih kurang untuk memberi keadilan bagi masyarakat bumiputera secara luas. Marco menekankan agar pemerintah harus menambah empat Noormaalschool lagi agar cukup untuk mendidik anak-anak bumiputera. Marco memiliki alasan atas pernyataanya sebab, menurutnya yang paling menderita dari kurangnya sekolah di Hindia Belanda adalah kalangan rakyat jelata. Biaya pendidikan yang tidak terjangkau rakyat jelata menjadi masalah bagi Marco. Dan ia menekankan bahwa pemerintah semestinya campur tangan dalam pembiayaan pendidikan. Tapi, hal terpenting bagi Marco adalah kerukunan dan kebersamaan dalam membangun sebuah pendidikan terbaik yang bisa dijangkau oleh semua kalangan.

Dalam konteks pemikiran tentang Bahasa Melayu, bahasa menjadi suatu hal penting bagi Marco. Baginya, kemampuan berbahasa bukan untuk kehormatan, tetapi lebih sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan. Marco juga mengangap bahasa tidak lebih dari perkakas, jika tidak berguna lagi bisa dilempar kapan pun sesuai kehendak penggunanya. Bahasa sebagai perkakas bisa juga memungkinkan untuk memediasi antara bangsa yang terperintah dan yang memerintah di Hindia Belanda. Selain itu, bahasa dapat menjadi pisau untuk menghapus, melawan, dan membela diri. Sebagaimana yang ia lakukan sendiri, bahasa digunakannya untuk menghapus kebudaayaan Belanda dari tanah Jawa melalui roman yang ditulisnya yakni Student Hidjo. Marco juga mengangap penting kemampuan berbahasa asing, tujuannya untuk dapat menyalin buku-buku yang diperlukan yang belum ada dalam bahasa sendiri. Sebab, bagi Marco, terjemahan adalah bagian terpenting dari pendidikan. Sedangkan pendidikan merupakan bagian terpenting dari proses perubahan, kemerdekaan, dan kemanusiaan.

 

Penulis: Ali Syaifullah Sulaiman (Anggota Jaganyala)

 

 

 

Tinggalkan komentar