Catatan Diskusi · Pendidikan Kaum Tertindas

[Bab III] Paulo Freire: Pedagogy of Oppressed

IMG_20181127_195522

Bab 3. Dialogika: hakikat pendidikan sebagai praktik kebebasan; dialogika dan dialog; dialog dan pencarian isi program; hubungan manusia-dunia, “tema-tema generatif”, dan isi program pendidikan sebagai praktik kebebasan; penelitian “tema-tema generatif” dan metodologisnya; kebangkitan kesadaran ktitis melalui penelitian “tema-tema generatif.”

Pada pembahasan sebelumnya, Paulo Freire memberikan keterangan bahwa pendidikan model kontemporer adalah praktik pendidikan yang merupakan cerminan dari bentuk penindasan dalam masyarakat. Karena, dalam pendidikan model itu guru merupakaan subyek yang dianggap memiliki pengetahuan sehingga murid sebagai obyek dengan ketidaktahuannya dianggap sebagai tempat deposit pengetahuan belaka. Model ini memungkinkan tidak terjadinya komunikasi intensif antara murid dengan guru. Freire, menyebut model ini sebagai pendidikan “gaya bank”. Ia juga ingin merontokkan pendidikan “gaya bank” tersebut dengan model “pendidikan hadap masalah”. Model pendidikan ini memungkinkan guru dan murid bersama-sama menjadi subyek.

Bagi Freire, pengetahuan yang sejati ialah harus mampu melakukan penemuan-penemuan melalui penyelidikan secara terus menerus ke dalam realitas kehidupan. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh apabila guru dan murid mampu bekerja sama dalam proses penyelidikan. Oleh karenanya, dialog merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem model “pendidikan hadap masalah”. Dalam “pendidikan hadap masalah”, guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru hingga guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis para murid. Dengan demikian, kedua belah pihak bersama-sama mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis kediriannya dan dunia tempat mereka berada melalui cara dialogis.

Dialog merupakan unsur dari sistem “pendidikan hadap masalah”. Inti dari model dialog adalah kata. Kata yang diuraikan Paulo Freire pada bab ketiga ini memiliki dua dimensi, refleksi dan tindakan. Menurut Freire, jika tanpa refleksi hanya akan terjadi aktivisme, dan tanpa tindakan hanya akan terjadi verbalisme. Jadi, yang dimaksudkan Freire ialah tidak ada kata sejati yang pada saat bersamaan juga tidak menghasilkan bentuk-bentuk praksis. Maka, mengucapkan sebuah kata sejati adalah untuk mengubah dunia, yang dalam artian bahwa mengubah dunia ini harus dengan tindakan. Keberadaan manusia tidak mungkin tanpa kata, juga tidak berlangsung dalam kata-kata palsu, tetapi hanya dalam kata-kata benar. Dengan apa manusia mengubah dunia – mengada secara manusiawi adalah menamai dunia atau mengubahnya. Maka, bagi Freire, mengubah dunia merupakan sebuah permasalahan dan membutuhkan penamaan baru. Dalam pernyataannya juga, bahwa manusia tidak diciptakan dalam kebisuaan (Freire, 2008: 76). Tetapi dalam kata, karya, dan refleksi-tindakan. Dengan begitu mengucapkan kata yang benar melalui karya, serta praksis merupakan usaha untuk mengubah dunia.

Dialog dalam pengertian Paulo Freire adalah sebuah bentuk perjumpaan di antara sesama manusia (dengan perantara dunia itu sendiri) dalam rangka menamai dunia. Dialog dalam artian ini sebagai sarana seseorang memperoleh makna sebagai manusia dan merupakan sebuah kebutuhan eksistensial manusia. Dialog juga merupakan bentuk perjumpaan antara sesama manusia, maka menurut Freire, keterpaduan refleksi dan tindakan para pelakunya ditunjukkan pada dunia yang harus diubah dan dimanusiawikan.

Freire, selanjutnya memberikan penjelasan mengenai landasan-landasan model dialog. Dialog dapat terjadi dengan hangat apabila adanya rasa cinta, kerendahan hati, dan keyakinan. Rasa cinta yang mendalam terhadap dunia dan terhadap sesama manusia merupakan dasar dari dialog. Bagi Freire, cinta merupakan sebuah laku keberanian, bukan ketakutan, maka cinta adalah pemihakkan pada orang lain. Tidak peduli di mana pun kaum tertindas ditemukan, maka laku mencintai adalah pemihakkan pada perjuangan mereka. Perjuangan bagi pembebasan, yang selanjutnya adalah bentuk kerendahan hati. Dialog yang telah dijelaskan di atas, merupakan sebagai perjumpaan antar sesama manusia yang dibebani tugas bersama untuk belajar dan berbuat. Dialog akan rusak jika para pelaku atau salah satu di antara mereka tidak memiliki sikap kerendahan hati. Freire mengungkapkan bahwa, seorang yang kurang rendah hati adalah orang yang tidak dapat akrab dengan rakyat dan tidak dapat menjadi kawan dalam suatu proses menafsirkan dunia.

Sedangkan, bagi Freire, prasyarat a priori bagi dialog ialah percaya bahwa dalam diri manusia terdapat kekuatan untuk mencipta dan mengubah. Selain itu, dialog juga tak dapat terjadi tanpa adanya harapan. Harapan berakar pada ketidak sempurnaan manusia, di mana mereka secara terus-menerus melakukan usaha pencarian-pencarian. Usaha ini hanya dapat dilakukan dalam kebersamaan dengan orang lain.

Ketiadaan harapan adalah sebuah bentuk kebisuan, penolakan terhadap dunia dan sikap melarikan diri darinya. Harapan, betapapun juga tidak berarti berpangku tangan dan menunggu. Selama mereka berjuang digerakkan oleh harapan dan jika mereka berjuang diiringi harapan, maka tak akan sia-sia menanti. Sebagai perjumpaan antar manusia yang berusaha untuk menjadi manusia seutuhnya, maka dialog tidak akan terlaksana dalam suatu suasana tanpa harapan. “Jika para peserta dialog tidak mengharapkan apa-apa sebagai hasil dialog mereka, maka perjumpaan itu akan menjadi sesuatu yang kosong, hampa, birokratis, dan menjemukan” (Freire, 2008: 83).

Di dalam paragraf ini, Paulo Freire mencoba mencari isi program pendidikan yang bermula pada penelitian dari apa yang diistilahkanya “dunia tema” (thematic universe). Rakyat – sebagai kompleksitas dari “tema-tema generatif” (generative themes) – mengesahkan dialog pendidikan sebagai praktik kebebasan. Metode penelitian itu dilakukan secara dialogis, yang mana objek dari penelitian ini bukanlah manusianya (dalam arti manusia sebagai serpihan anatomis), tetapi lebih pada bahasa pikiran manusia yang digunakan untuk memahami realitas, serta tingkatan-tingkatan mengenai realitas dunianya yang menjadi sumber dari semua tema-tema generatif mereka. Sebelum menguraikan tema-tema generatif, Freire mencoba menjelaskan tentang apa itu “dunia tema minimum”; yang membedakaan manusia dengan binatang yang mana binatang tidak dapat menciptakan sesuatu yang terpisah dari dirinya. Sedangkan manusia yang lewat tindakan-tindakanya terhadap dunia menciptakan dunia sejarah dan kebudayaan. Hanya manusia yang merupakan makhluk yang dapat melakukan tindakan praksis melalui refleksi dan menggunakannya untuk mengubah realitas serta menjadi sumber pengetahuan dan kreasi. Aktivitas binatang yang berlangsung tanpa praksis, tidaklah kreatif; aktivitas manusia yang mengubah itulah kreatif. Sebagai makhluk kreatif dan pengubah sesuatu, dalam hubunganya yang ajek dengan realitas, manusia menghasilkan apa yang disebut benda-benda material, contohnya ialah pranata-pranata sosial.

Pada penelitian selanjutnya ialah tentang istilah “tema-tema generatif”. “Tema-tema generatif” tidak dapat ditemukan dalam diri manusia yang terpisah dari realitas, juga tidak dalam realitas yang terpisah dari manusia, apalagi dalam “bukan bumi manusia”. Dia hanya dapat dipahami dalam hubungan manusia-dunia. Oleh karenanya, meneliti “tema-tema generatif” berarti meneliti pemikiraan manusia dan tindakan manusia terhadap realitas. Dengan alasan inilah, metodologi yang diajukan menghendaki agar peneliti serta rakyat (yang lazim dianggap sebagai obyek penelitian itu) bertindak sebagai sesama peneliti.

Proses pencarian “tema-tema generatif” harus mencakup letak keterkaitan antar setiap tema, pengungkapan tema-tema itu sebagai permasalahan, dan konteks sejarah dan kebudayaanya. Penelitian terhadap tema bagi proses pembelajaran melibatkan pemikiran manusia – pemikiran yang hanya terjadi dalam diri antar manusia untuk memahami realitas bersama-sama. Penelitian tersebut dilakukan dengan cara membentuk kelompok yang hendak melaksanakan suatu rencana pendidikan untuk orang dewasa pada suatu daerah pertanian dengan persentase buta huruf tinggi. Rencana tersebut mencakup kampanye melek huruf serta suatu program pasca melek huruf. Selama tahap pertama, pendidikan hadap-masalah mencari dan meneliti “kata generatf”. Dalam tahap kedua mencari dan meneliti “tema-tema generatif”. Hal yang esensial bagi para peneliti adalah untuk mengamati daerah itu dari berbagai peristiwa: bekerja di ladang, rapat-rapat dari perkumpulan lokal (mengamati perilaku para peserta, bahasa yang digunakan, dan hubungan sosialnya). Sehabis kunjungan pengamatan, seorang pengamat harus menulis laporan singkat untuk didiskusikan dengan seluruh kelompok agar dapat mengevaluasi hasil-hasil penelitian dari peneliti sendiri maupun para asisten lokal.

Untuk memudahkan partisipasi para asisten, pertemuan evaluasi harus diadakan di daerah itu. Pertemuan evaluasi merupakan langkah awal dari tahap kedua dalam pendadaran sandi yang unik dan hidup. Setelah setiap orang, melalui makalah pendadarannya yang telah disiapkan, menceritakan bagaimana dia memahami atau merasakan suatu kejadian atau situasi tertentu. Penjelasannya menggungah para pendadar yang lain dengan menyajikan kepada mereka realitas yang sama yang telah mereka perhatikan sendiri. Setelah pendadaran dalam kelompok selesai, tahap terakhir dari penelitian dimulai, dengan dimulainya pengkajian sistematis antar disiplin oleh para peneliti terhadap perolehan-perolehan mereka.

Mendengarkan rekaman yang berasal dari pertemuan-pertemuan pendadaran dan pengkajian catatan yang dibuat oleh psikolog dan sosiolog, para peneliti kemudian membuat daftar dari tema-tema yang terungkap atau tersembunyi dalam pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan selama pertemuan. Setelah pembedahan tema-tema selesai, kemudian menyusul “kodifikasinya”: memilih cara penyampaian terbaik bagi setiap tema serta penyajianya. Suatu kodifikasi dapat sederhana atau majemuk. Pertama, menggunakan sarana visual (gambar atau cetak), alat peraga, atau pendengaran. Kedua, menggunakan berbagai sarana. Setelah tema-tema dikodifikasi, alat-alat belajar (potret, slide, film, poster, bacaan dan sebagainya) kemudian disiapkan. Kelompok kerja dapat memilih sejumlah tema atau aspeknya bagi para ahli luar (kelompok) untuk dijadikan topik dalam wawancara yang akan direkam. Contoh: tema pembangunan, kelompok menghubungi dua atau lebih ekonom dari berbagai paham pemikiran, menjelaskan kepada mereka mengenai program tersebut, dan mengundang mereka untuk menyajikan wawancara dalam masalah tersebut dalam bahasa yang dapat dipahami pendengar.

Dengan semua materi pendidikan yang telah disiapkan, hendaknya ditambah dengan buku-buku pedoman sederhana. Kelompok kerja pendidik telah siap menyajikan kembali kepada penduduk tema-tema mereka sendiri, dalam bentuk yang sistemik dan terurai. Tema-tema yang datang dari penduduk kembali lagi kepada mereka – bukan sebagai barang-barang untuk ditabung, melainkan sebagai masalah-masalah yang harus diselesaikan.

Dengan demikian, penjelasaan contoh di atas merupakan sebuah metodologis yang dipaparkan oleh Paulo Freire mengenai konsep sistem “pendidikan hadap-masalah”. Hal yang penting dari sudut pandang pendidikan membebaskan menurut Freire yakni agar manusia merasa tuan bagi pemikiranya sendiri. Berdiskusi mengenai pemikiran dan pandangan tentang dunia yang secara jelas atau tersamar terungkap di dalam tanggapan mereka sendiri.

Penulis: Rifaldi Eka Shaputra Tantu. Mahasiswa Ilmu Komunikasi UAD 

2 tanggapan untuk “[Bab III] Paulo Freire: Pedagogy of Oppressed

Tinggalkan komentar