Kuasa Media di Indonesia

[Bab IV] Media Kontra Oligarki

42633643._UY1330_SS1330_
Sumber: https://www.goodreads.com/

 

Oligarki: Satu-dua Pertanyaan

Penelitian Ross Tapsell memberikan pembaca pemetaan yang sangat membantu untuk melihat kontestasi politik Indonesia kontemporer. Tepat pada apa yang disampaikan oleh David T. Hill di sampul muka. Dengan kajian media sebagai jalan masuk, pembaca dibawa untuk memahami corak sosial politik yang semakin dikendalikan oleh para oligark.

Oligarki menjadi salah satu konsep kunci dan asumsi dasar dalam karya Tapsell untuk memahami lanskap media dan politik. Sebagai pembaca, saya melihat ada bolongan, kalau tidak dikatakan sebagai kekurangan, dalam hal esksplorasi teoretik terhadap konsep oligarki itu sendiri.

Tapsell menyandarkan konsep oligarkinya pada ilmuwan politik Amerika, Jeffrey Winters yang mendeskripsikan oligarki sebagai “aktor-aktor yang memerintah dan mengontrol konsentrasi sumber daya material secara massif yang dapat digunakan untuk mempertahankan atau memperluas kekayaan pribadi dan posisi sosial mereka yang eksklusif” (Tapsell, 2018: 14).

Hanya itu yang saya dapatkan. Selanjutnya Tapsell langsung mengoperasikan konsep oligarki dalam kasus penguasaan media di era revolusi digital yang dikenal sebagai konvergensi yang ia bagi dalam dua jenis yakni, konvergensi vertikal dan konvergensi horizontal. Konvergensi vertikal merujuk pada bentuk penyatuan usaha-usaha bisnis para olirgak dalam berbagai bidang. Misal, Chairul Tanjung dengan TransCorp pada bagian media, juga Bank Mega dan ritel. Begitupun Abu Rizal Bakrie dan Hary Tanoe Soedibjo. Tapsell dengan mengutip Richard Robinson dan Vedi Hadiz mengakui “bahwa kendati pemerintah otoriter Soeharto tidak ada lagi, era baru demokrasi di Indonesia sejak 1998 didominasi oleh kaum oligark, melalui penataan ulang atas relasi-relasi kuasa lama yang predatoris dalam sistem baru”. Lebih lanjut, masih dengan pendapat Robinson dan Hadiz, kendati menyatakan bahwa “tesis oligarki ini bukan bermaksud menyatakan bahwa tidak ada yang berubah di Indonesia”, tetapi “banyak wajah-wajah lama yang terus mendominasi bidang politik dan bisnis, sementara waja-wajah baru terseret ke dalam praktik predatoris yang sama yang telah merumuskan politik di Indonesia selama beberapa decade” (Ibid.,).

Kurangnya eksplorasi teoritik atas konsep oligarki, selain membuat bingung pembaca seperti saya yang awam dalam teori politik, juga menimbulkan pertanyaan apakah ada kekhasan oligarki di bawah dua sistem yang berbeda antara otoritarianisme Orde Baru dengan demokrasi pasca-Reformasi? Bentuk-bentuk adaptasi seperti apa yang membuat para oligark ini begitu fleksibel hidup dalam dua sistem yang berbeda yang mungkin sama suburnya? Saya tak menemukan itu (ataupun kalau ada dan saya terlewatkan, mohon untuk diklarifikasi).

Permasalahan ini berlanjut ketika Tapsell membahas “Media Kontra-Oligarki” pada bab empat. Apa yang dimaksud Tapsell sebagai “media kontra-oligarki” adalah munculnya platform-plaform baru yang lahir dari rahim revolusi digital seperti Blog, Twitter, YouTube, dan Facebook yang memungkinkan warga secara individu maupun kolektif mengekspresikan kehendak dan keresahannya ketika suara-suara mereka tak dapat diakomodir oleh media arus utama milik para oligark. Mereka ini adalah kaum muda terpelajar kelas menengah perkotaan yang melek media. Tapsell meyebutnya sebagai “minoritas berdaya”. Mereka inilah yang menginisiasi perlawanan-perlawanan terhadap para oligarki. Sebelumnya ia menjelaskan bahwa dampak dari revolusi digital mempunyai dua sisi: makin memperkaya para oligarki dan mengukuhkan kekuatan mereka pada tatanan sosial; di sisi lain ia melihat warga makin terberdayakan dengan munculnya medium alternatif yang dapat mengakomodir suara-suara kaum kontra/anti oligarki.

Ia melacak awal kemunculan media anti-oligarki dari kasus Prita Mulyasari pada 2008 silam. Kasus Prita bermula ketika ia mengeluhkan pelayanan rumah sakit swasta kepada teman-temannya melalui surat elektronik. Ketika keluhannya itu mencuat ke publik, pihak rumah sakit justru menuntut balik Prita dengan dalih pencemaran nama baik. Tak tahan dengan tuduhan itu, kampanye “Koin untuk Prita” di halaman Facebook digalakkan. Aksi itu menyebar ke berbagai medium, termasuk YouTube. Walaupun di akhir kasus ibu dua anak ini menang pada banding di akhir Desember 2009, uang sumbangan untuknya sukses bahkan jauh melampaui jumlah denda. Kian kemari, warga mulai secara ekstensif menggunakan media sosial sebagai alat perlawanan baru untuk menentang kuasa diskursus kaum oligark. Mulai dari kosolidasi warga secara daring atas kasus Prita sebelumnya maupun kasus Cicak versus Buaya di kemudian hari.

Permasalahan muncul ketika di akhir-akhir bab ini ia menyoroti fenomena Jokowi yang bertarung pada gelanggang politik pemilihan presiden pada 2014 silam. Ia menulis “sukses Jokowi sebagian besar didorong oleh kampanye akar rumput dan komunitas relawan, serta inisiatif media baru dan ‘prod-user’, ditambah banyak kalangan masyarakat umum yang mendambakan  berita tentang seorang politisi  yang bukan berasal dari wajah lama perpolitikan di Indonesia” (Tapsell, 2018: 218). Tak lupa ia mengafirmasi pendapatnya dengan mengutip Meitzner, bahwa  “kemunculan Jokowi menunjukkan  kekuatan dari aktor-aktor dan kelompok “non-oligarki” atau “kontra-oligarki dalam menantang kuasa dan pengaruh media” (Tapsell, 2018: 219).

Dari sinilah muncul pertanyaan. Bukankah sedari awal naiknya Jokowi jadi gubernur Jakarta yang disokong oleh PDI-P dengan Ahok sebagai wakil gubernur dari Gerindra, menjadi bagian dari agenda para oligarki lama, yang dalam hal ini Prabowo dan Megawati? Dalam kurun waktu dua tahun kemudian ketika Jokowi maju sebagai calon presiden, yang oleh Tapsell disebut sebagai inisiatif dari para warga dan relawan, bukannya tetap disokong oleh aktor oligark yang sama? Lagipun ketika mengakui naiknya Jokowi sebagai hasil kerja dari kaum muda kelas menengah urban melek teknologi, pertanyaannya kemudian ialah seberapa signifikan “minoritas berdaya” ini dapat membentuk citra Jokowi dan secara ekstensif mempengaruhi sebagai besar masyarakat Indonesia hingga ia naik ke tampuk kekuasaan? Bukankah kerja-kerja yang dapat menjangkau khalayak secara luas hanya mampu dilakukan oleh media arus utama kaum oligark, yang dalam hal ini digawangi oleh Surya Paloh dan Aburizal Bakrie? Bukankah konsolidasi massif kaum oligark untuk mengamankan kuasa dan kekayaan masing-masing yang menjadi imperatif utama? Hal ini terkonfirmasi dalam momen dimana “pada bulan-bulan pertama 2015, aktivis media digital berusaha melakukan “usaha urun daya” kabinet pertama Jokowi dengan mengajak masyarakat menominasikan nama-nama calon menteri. Idenya adalah jika keputusan menteri dapat dijauhkan dari oligark-oligark besar, maka hasilnya akan lebih demokratik, dan kabinet yang lebih reformis akan terbentuk. Namun Jokowi tidak menggubris ide tersebut. Malahan para patron partailah (Megawati Sukarnoputri, Aburizal Bakrie, dan Surya Paloh) yang sangat berperan dalam menentukan pemilihan menteri” (Tapsell, 2018: 223). Tak salah jika kemudian ketua umum PDI-P, Megawati, menyebut peran Jokowi sebagai petugas partai.

Sekali lagi, saya masih kebingung dalam mengkategorikan posisi Jokowi dalam kasus ini. Dan saya pikir salah satunya bermula dari kurangnya eksplorasi teoritik atas konsep oligarki dari penelitian Tapsell ini. Tapi yang pasti, klaim soal fenomena Jokowi sebagai aksi-aksi aktivisme digital yang muak dengan media arus utama dan para oligarknya agak, bahkan, kontradiktif ketika kita melihat penjelasan di atas. Klaim yang dilakukan oleh Tapsell pada halaman ke 218-219 digugurkan sendiri pada halaman berikutnya, tepat pada halaman 223.

 

Penulis: Andi Ar-Rahman

Tinggalkan komentar