Catatan Diskusi · Doenia Bergerak

[BAB III: Sub-Bab D & E] Menggerakkan Sarekat Rakyat & Akhir Perjuangan

Dunia_Bergerak___Keterlibatan_Mas_Marco_Kartodikromo_di_zama
Sumber: demabuku.com

 

D. Menggerakkan Sarekat Rakyat

Setelah Marco keluar dari penjara Semarang Desember 1923 ia tinggal di Kalicacing, Salatiga. Ia belum menggabungkan diri dalam Partai Komunis Indonesia (PKI), Sarekat Islam (SI) Putih, Muhammadiyah, ataupun Sarekat Rakyat (SR), apalagi Boedi Oetomo. Marco masih melihat-lihat organ apakah yang tepat baginya untuk kembali aktif dalam dunia pergerakan. Keputusannya untuk tidak bergabung terlebih dahulu dengan beberapa organisasi pergerakan sebetulnya didorong oleh kehendaknya untuk kembali mengistirahatkan dirinya dari aktivitas dunia pergerakan dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun.

Pada Januari 1924, SR semakin giat melancarkan pergerakannya. Di samping itu, polisi kolonial semakin meningkatkan kontrol -dan tak jarang menjadi berlebihan- terhadap SR dan organisasi pergerakan yang menentang pemerintah. Tak ayal jika Ngaliman (ketua SR Klaten) ditangkap karena telah mengadakan pertemuan di desa Kuwala, Klaten. Sementara itu, sekertaris SR Rawan Koen Tjiat dijatuhi hukuman dua bulan penjara bersama 19 orang lainnya yang dianggap terlibat dalam pertemuan itu. Hukuman yang dijatuhkan kepada mereka pada dasarnya tidak berlandaskan alasan yang jelas, karena pertemuan tersebut sebetulnya untuk melaksanakan acara kenduri.

Di wilayah lain yakni Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah, telah didirikan cabang SR yang, saat acara peresmiannya, dihadiri oleh para pejabat pemerintahan daerah: wakil pemerintah, bupati, kontrolir, wedana, dan asisstent wedana. Bertolak belakang dengan itu, wedana Kalikates justru melarang warganya bergabung bersama SR dengan mengatakan bahwa perkumpulan itu adalah perkumpulan tidak terpuji, himpunannya para pengemis dan orang miskin, serta akan merusak peraturan negara. Wedana Kalikates juga tidak segan-segan memberikan sanksi kepada warganya yang menentang perintah tersebut.

Belum genap dua tahun semenjak ia memutuskan untuk beristirahat, Marco kembali aktif di dunia pergerakan. Pada Febuari 1924 ia mendatangi vergadering SI Merah di Salatiga. Bulan berikutnya, tepatnya tanggal 23 Maret 1924, ia menghadiri pertemuan terbuka SI di Wirosari. Pertemuan yang mendapatkan penjagaan ketat pihak kepolisian itu juga dihadiri oleh 5000 orang dari total perwakilan SI Merah lokal. Meskipun hadir dalam rapat tersebut, Marco tidak serta merta memutuskan untuk bergabung dengan PKI karena ia telah memiliki rencana lain.

Pada Maret 1928, ia menghadiri Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta. Ia turut berbicara dalam Kongres itu dengan mengatakan, “jika Muhamadiyah hendak mengikuti tidak hanya ¾ atau ½ dari Al-Qur’an seperti sekarang ini, tetapi seluruh isinya, Muhammadiyah harus berkiprah di lapangan politik.” Maksud lain dari perkataannya tersebut ialah mengajak kaum Muhammadiyah untuk mengintegrasikan organisasinya dengan PKI yang pada waktu itu telah memiliki kekuatan massa besar. Sebab bagi Marco, menjalin hubungan dengan kaum komunis tidak harus menjadi komunis –Marco lebih memilih bergabung dengan Kaum Merah Muda bersama Misbach di saat pecahnya SI Merah dan SI Putih. Akan tetapi, pidato Marco justru ditanggapi sebaliknya oleh para pengurus Muhammadiyah dengan seruan kepada seluruh umat muslim bahwa komunisme tidak sesuai dengan Islam dan menyuruh cabang-cabangnya memutus hubungan dengan komunis (Hartanto, 2017: 201).

Pada tanggal 1 Juni 1924, Marco bersama Hoerip dan Rangsang menerbitkan surat kabar ilmu pengetahuan atau jurnal yang diberi nama Hidoep. Hidoep berisi tiga macam pengajaran yang menurut mereka berguna bagi keperluan publik yakni: (1) Babat Tanah Djawa; (2) Kaoem Merah, suatu cerita bersambung yang dikarang Rangsang; dan (3) Peladjaran Bahasa Inggris (Hartanto, 2017: 202). Kemudian disusul pada September 1924 di Salatiga, Marco membuat perpustakaan yang diberi nama serupa: “Hidoep”. Hal ini didorong oleh keinginannya untuk memenuhi hak membaca bagi setiap manusia. Perpustakaan dari koleksi buku-buku pribadinya itu buka hampir setiap hari kecuali hari Minggu, Jumat, dan hari libur umum. Untuk peminjaman buku di perpustakaannya, Marco mematok biaya sejumlah f 0,09 setiap bulan bagi peminjam yang tidak berlangganan surat kabar Hidoep dan gratis bagi peminjam yang telah berlangganan. Hasil dari penjualan tulisan dan peminjaman buku digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Meskipun tidak banyak, ia tetap mensyukuri hasilnya selagi hal tersebut dirasa halal. Ia juga mengungkapkan bahwa, “Seorang pengarang yang baik…tidak menjual tulisannya untuk kepentingan orang lain mendapatkan kekuasaan” (Hartanto, 2017: 202).

Di edisi Hidoeop 1 September 1924, Marco menulis riwayat hidup temannya yakni Misbach yang pada 27 Juni 1924 dibuang ke Manokwari di Nieuw Guinea Utara (sekarang Papua). Misbach dituduh sebagai dalang atas kerusuhan yang terjadi di Solo. Semenjak kembalinya ke dunia pergerakan, ia melanjutkan perjuangan Misbach dan Semaoen untuk menggerakan petani Semarang dan Solo. Pada 14 September, ia menyelenggarakan pertemuan SR di rumahnya. Tujuan pertemuan itu yakni sebagai persiapan pembentukan SR baru di Solo. Ia menyatakan SR akan berjuang meraih hak-hak rakyat dalam lapangan sosial dan ekonomi. Ia juga menyuarakan kerja sama antara komunis dan Islam. Pompaan semangat itu menuai keberhasilan. Pada 22 November 1924, SR Solo terbentuk dan Marco terpilih sebagai ketua sedang Haroenrasjid (anak buah Misbach) sebagai wakilnya. Semenjak itu, Marco akhirnya dapat menemukan kembali teman yang sehati dan semaksud dengannya dalam meniti perjuangan.

Alimin Prawirodirdjo dan Boedisoetjitro, dua utusan PKI yang menghadiri Kongres Komunis Internasional di Kanton, Tiongkok, melaporkan hasil kongres SR Solo. Kongres PKI juga membicarakan kelompok yang dapat diajak kerja sama untuk mendirikan barisan persatuan yang bisa disatukan melalui aksi di seluruh Asia. Rinciannya adalah dengan mendirikan suatu perkumpulan kaum buruh pabrik gula dan buruh pelabuhan. Aliarcham, salah satu peserta kongres mengatakan bahwa aksi pengeboman di Solo pada 1923 tidak berhasil apa-apa. Revolusi bisa terjadi jika pergerakan sudah diputuskan baik-baik. Kongres memutuskan untuk mengulangi dan memperdalam aksi di kalangan kerja.

Dukungan PKI dan anak buah Misbach semakin mengukuhkan Marco sebagai ketua SR Solo pada Januari 1925 di Solo. Marco mempertahankan tradisi marxisme Islam yang dimulai oleh Misbach yang rupanya memberikan asupan semangat baru bagi gerakan sebab akhirnya jumlah anggota yang bergabung semakin meningkat. Ia memimpin sekitar 700 orang, tetapi Algemene Recherchedienst mengawasinya dan menunggu saat yang tepat untuk memasukan kembali Marco dalam penjara. Pada pertemuan terbuka di gedung wayang orang Purwodiningrat Marco semakin terang-terangan menunjukan sikapnya, bergabung dengan komunis tanpa menjadi komunis. Ia juga secara aktif mengkritik orang-orang yang tidak sehati dan tidak semaksud dengannya, termasuk kepada orang-orang intelek dan terpelajar Hindia yang lembek membela kaum kromo (Hartanto, 2017: 208-209). Kritik Marco tidak hanya dalam surat kabar tetapi juga dalam praktik. SR semakin semakin cepat di bawah Marco. Bersama teman-temannya, Marco semakin teguh dengan aksinya. Tapi aksi tersebut mengundang reaksi kolonial untuk terus mengawasinya.

“Perubahan” terjadi pada diri Marco. Pada pertemuan terbuka penggalangan dana, 19 Juli 1925, Marco bersama Alimin, Njo Joe Tik dari Kong Sing memberi dukungan pada revolusi Cina. Sikap ini berbalik dengan sikapnya pada 1914, ketika berpolemik dengan redaktur Tjhoen Tjhioe perkara “babah pendjaga restauratie” (Hartanto, 2017: 210). Pertemuan-pertemuan terbuka yang salah satunya dengan kaum Tionghoa itu mendongkrak keanggotaaan SR dari 700 orang pada Januari menjadi 1700 orang pada Mei-Juli 1925.

Karena semakin meningkatnya jumlah anggota PKI dan SR yang menyebabkan semakin masifnya pergerakan yang mereka lakukan membuat pemerintah kolonial semakin resah. Keresahan pemerintah diimplementasikan dengan usaha pembubaran terhadap kedua organisasi tersebut melalui rekonstruksi perundang-undangan. Hal itu ditunjukkan ketika pada 25 Mei 1926 berdasarkan surat edaran No. 193 X, pemerintah menyatakan bahwa pegawai negeri tidak diperbolehkan menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) maupun Sarekat Rakyat (SR). Intervensi yang dilakukan pemerintah akhirnya berbuntut pada penangkapan dan pembuang Marco ke Digoel pada 6 September 1926.

E. Akhir Perjuangan

Boven Digoel terletak di tepi hilir sungai Digul dan konon dipersiapkan dengan tergesa-gesa untuk mengantisipasi kebijakan akhir pemerintah kolonial terhadap orang-orang yang terlibat pemberontakan komunis 1926. Luas wilayah kawasan itu hampir 10.000 hektar, dan terkenal sangat terasing dari dunia luar. Kamp Boven Digoel dibangun oleh sebuah kesatuan tentara yang dipimpin Kapten L. Th. Becking. Anak buah Becking yang terdiri dari orang-orang Ambon dan tawanan kerja. Boven Digoel tidak dirancang sebagai kamp konsentrasi karena tidak ada penyiksaan atau pembunuhan terhadap tawanan sampai mati, gila, atau menjadi “hancur”.

Pada 7 maret 1932, pemerintah kolonial Hindia Belanda membebaskan 176 orang buangan dari Boven Digoel. Mereka sudah dikirim pulang ke kampung halaman mereka. Mereka yang dipulangkan terdiri dari dua gelombang. Pada gelombang ke dua, rombongan yang pulang itu berjumlah 80 orang diangkut dengan kapal api Reteh. Pengawasan terhadap orang-orang bekas penghuni Boven Digoel akan terus dilakukan setelah mereka pulang. Mereka diharuskan menandatangani kesepakatan dengan aparat hukum kolonial untuk tidak bersentuhan lagi dengan dunia pergerakan. Di hari kepulangannya pada 18 maret 1932, Mas Marco Kartodikromo meninggal dunia. Marco mati bukan karena senapan melainkan karena sengatan malaria semasa di Boven Digoel.

 

Penulis: Donyka (Redaktur Rubrik Opini Jaganyala)

Tinggalkan komentar