BERITA

KBM Sastra Indonesia UAD Menolak Pembodohan Sastra Denny JA dan Puisi Esainya

IMG-20180123-WA0012
Suasana diskusi KBM Sasindo UAD membahas masalah pembodohan sastra Indonesia Denny JA

Menanggapi isu yang sedang banyak dibicarakan dalam dunia sastra Indonesia di awal tahun 2018 ini, yakni polemik yang dipicu oleh adanya proyek “gerakan puisi esai nasional” (hasil inisiasi Denny JA) yang diwartakan melalui media daring seperti nusantaranews.co dan inspirasi.co dan kemudian proyek iitu langsung disambut dengan berbagai macam penolakan dari beberapa kalangan sastrawan atas hadirnya proyek tersebut.

Kami Keluarga Besar Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (KBM Sasindo UAD) hendak menyampaikan beberapa hal (sekaligus sikap) terkait dengan adanya polemik tersebut. Dalam proses diskusi yang kami lakukan, di antaranya pada tanggal 20 Januari 2018, kami membahas beberapa wacana dan sekaligus juga keputusan penolakan terhadap adanya proyek puisi esai Denny JA tersebut. Kami dalam hal proyek ini menolak karena  bermasalah dengan dua hal, pertama, dengan Deny JA dan berikutnya dengan puisi esai yang sarat akan klaim-klaim asersif penggagasnya.

Apabila dipandang secara runtut, proyek “gerakan puisi esai nasional” tidak dapat dilepaskan dari rentetan rekayasa sosial (dalam dunia sastra) yang dilakukan oleh Denny JA untuk mencapai tujuannya yang penuh  dengan tendensi megalomaniak. Terutama dari hubungannya dengan skandal sastra penerbitan buku kontroversial 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia yang dibiayai olehnya. Di sini akan kami jelaskan apa yang dimaksud dengan rekayasa sosial dan juga bagaimana hal itu bisa teridentifikasi dalam proyek terbaru puisi esai Denny JA ini.

Dalam penjelasan yang dikemukakan oleh Jalaludin Rahmat mengenai rekayasa sosial, istilah ini merujuk pada cara untuk merubah keadaan sosial yang dinilai dekaden. Olehnya hal ini, pada prinsipnya bertujuan positif. Akan tetapi, rekayasa sosial di sini merujuk pada istilah yang digunakan oleh Firman Venayaksa dalam satu tulisannya Rekayasa Sastra. Dia mengajukan satu hipotesis dimana menurutnya apa yang dilakukan Denny JA adalah  sebuah rekayasa sosial (dalam dunia sastra). Rekayasa sosial yang dimaksud di sini adalah satu upaya yang dilakukan dengan penuh kesadaran, memakai teknik dan metode tertentu dan kemudian menentukan desain akhir dan perubahan yang diinginkan. Apakah “perubahan yang diinginkan” itu?

Kami menduga hal itu adalah pengakuan atas diri Denny JA dan atas apa yang telah dia gagas, yang sayang sekali hal itu hendak dicapainya melalui cara-cara yang banal dengan misalnya, menciptakan gejolak-gejolak manipulatif di tengah masyarakat mengenai tanggapan atau reaksi terhadap puisi esainya. Seolah-olah semuanya terjadi atas dasar kekuatan internal atau kualitas estetis dan sublimitas puisi-puisi esainya, padahal di luar semua itu dia menggunakan kekuatan eksternal berupa sokongan dana yang begitu banyak untuk memaksakan eksistensi dirinya dan puisi esainya dapat diakui (secara tidak kritis) memiliki mutu dan kemudian diapresiasi oleh masyarakat. Pengakuan akan eksistensi tidak kritis ini dapat dilihat buktinya dalam beberapa hal, seperti penyesalan Ahmadun Yosi Herfanda karena terlalu tergiur dengan honor tawaran Denny JA: SURAT TERBUKA: Saya Menyesal Ikut Menulis Puisi Esai, atau yang terbaru, pengunduran diri delapan orang peserta “gerakan puisi esai nasional” yang dimuat dalam situs berita online harianhaluan.com berjudul Denny JA Bisa Dituntut jika Terbitkan Puisi Penulis yang Mengundurkan Diri.

Persis di sini kita bisa mendeteksi bagaimana seorang megalomaniak Denny JA menerapkan pola rekayasa sosial yang sama yang dia lakukan pada penyusunan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia di proyek terbarunya bernama “gerakan puisi esai nasional”. Pola-pola itu berbentuk manipulasi reaksi orang-orang terhadap gagasannya. Seolah-olah bangsa atau nasion Indonesia ini menyambut dengan antusias seruannya untuk menulis puisi esainya. Namun rupanya fakta delapan orang yang menarik diri dari proyek itu menunjukan bahwa uangnyalah yang disambut secara antusias. Oleh karena itu, kami menilai proyek “gerakan puisi esai nasional” ini merupakan neo-pembodohan sastra yang kembali dilakukan oleh Denny JA dan kroni-kroninya. Maka itu pula sudah sepantasnya Denny JA dan proyeknya ini disingkirkan dalam dunia sastra Indonesia, karena alih-alih meradikalisir pemahaman kita akan sastra Indonesia secara ilmiah  maupun secara estetis, orang seperti Denny JA justru mendogma keyakinan kita untuk percaya pada dalil-dalil kosongnya tanpa keraguan sama sekali.

Selanjutnya, kami juga merasa bermasalah pada poin puisi esai yang digagas dan selanjutnya diklaim sebagai genre baru dalam dunia sastra Indonesia oleh Denny JA. Kami setuju sepenuhnya dengan argumen yang dikemukakan oleh kelompok Penyair Muda Indonesia dalam petisi penolakannya  bahwa apa yang diklaim oleh Denny JA tentang penemuan barunya[?] terlampau berlebihan karena dalam sejarah kesusastraan dunia, seorang penyair Inggris di abad XVII, Alexander Pope sudah menuliskan jenis puisi semacam dalam bukunya An Essai on Man. Maka, secara holistik, pada dasarnya puisi esai bukanlah hal baru dalam dunia kesusastraan, olehnya hal itu tidak perlu ditanggapi secara berlebih-lebihan.

Kecuali itu, dalam pandangan akademis kami, apa yang dikemukakan oleh Denny JA di dalam sebuah tulisannya Puisi Esai Apa dan Mengapa? yang barangkali dia maksudkan sebagai penjelasan terhadap genre baru yang diklaimnya amatlah menyesatkan. Tulisan itu salah satunya berisi tentang surveinya yang hendak menguji kemampuan masyarakat di Indonesia, khususnya yang berada dalam lingkungan pendidikan formal tentang pemahaman mereka terhadap puisi-puisi Indonesia. Hasil dari survei itu menunjukan bahwa masyarakat berpendidikan tinggi sekalipun kesulitan untuk memahami puisi-puisi di Indonesia.

Kami tidak soal dengan hasil survei ini, tetapi, yang menjadi persoalan kami dan sekaligus kami anggap menyesatkan adalah sebab dan solusi yang dia tawarkan dari hasil survei itu. Denny JA dengan sangat enteng mengatakan kalau sebab dari semua itu adalah entitas puisi Indonesia yang memang sulit untuk dipahami. Maka solusinya adalah, sebagaimana juga diinginkan oleh John Barr dan juga para respondennya harus ada satu jenis puisi dengan bahasa sederhana yang muncul dalam dunia sastra, maka lahirlah puisi  esai. Demikianlah simpilfikasi yang dilakukan oleh Denny JA dalam menjawab masalah kesusatraan Indonesia yang begitu kompleksnya. Dia mereduksi sebab-sebab ketidakpahaman masyarakat akan puisi menjadi hanya satu: puisi yang sulit bahasanya. Dia tidak memperhitungkan variabel-variabel lain yang lebih relevan, misalnya, politik kanonisasi sastra dalam sastra Indonesia atau bobroknya kurikulum pengajaran sastra dalam dunia pendidikan Indonesia yang menyebabkan masyarakat dalam pendidikan formal sampai tidak paham dengan puisi-puisi Indonesia maupun minimnya kebiasaan membaca dalam masyarakat kita.

Apa yang telah dilakukannya ini jelaslah bukan mencari solusi yang konkret untuk menyelesaikan masalah sastra Indonesia, tetapi hanyalah membuat narasi palsu belaka yang dia gunakan hanya untuk mendukung glorifikasi dari puisi-puisi esainya. Inilah titik menyesatkan yang kami maksudkan.

Oleh karena itu, melalui pertimbangan-pertimbangan yang ada dalam hasil diskusi kami ini, kami KBM Sasindo UAD menyatakan sikap dengan tegas bahwa:

  1. Kami menolak proyek “gerakan puisi esai nasional” yang digaungkan Denny JA karena gerakan itu merupakan pembodohan sastra Indonesia.
  2. Kami menolak hadirnya puisi esai ala Denny JA dalam dunia sastra Indonesia untuk selama-lamanya karena jenis puisi itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan juga tidak memiliki basis definisi dan kriteria yang jelas.

  Penulis: KBM Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan

Satu tanggapan untuk “KBM Sastra Indonesia UAD Menolak Pembodohan Sastra Denny JA dan Puisi Esainya

  1. Sama dengan Narudin Pituin, Isbedy Stiawan ZS, terlibat dalam pembuatan buku puisi esai Denny JA . Jadi jangan pernah kerja sama dengan pelacur sastra seperti Isbedy Stiawan ZS, jangan kirim cerpen dan puisi ke Lampung Post karena redakturnya adalah Isbedy Stiawan ZS, jangan satu buku dengan Isbedy Stiawan ZS, jangan foto bareng Isbedy Stiawan ZS.
    Jangan jadi penulis munafik. Lihatlah Eka Kurniawan yang menolak 50 juta di ajang Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019. Penulis Indonesia harus punya sikap seperti itu . Jangan tulis tentang cinta sejati tapi di kehidupan nyata kawin-cerai-kawin .
    #segera sebarkan di facebook, televisi, WhatsApp, instagram,selebaran, sms, radio , twitter dan apa saja.

    Suka

Tinggalkan komentar